Rabu, 28 Desember 2011 - , , 0 komentar

Di Pucuk Malam Natal



Kali ini aku mengalihkan pandanganku pada sekumpulan “bintang” yang terhampar di bawah balkon kamarku. Natal yang indah. Natal yang selalu menawan. Kutatap “bintang-bintang”-ku dengan segenap emosi kerinduan yang ada. Semua masih sama. Hanya saja minus Santa Klaus dan juga balon. Ah, sudahlah. Malam ini, aku hanya ingin menikmati natal yang ada di hadapanku, bukan natal-natal yang lain.

Udara di kota Batu masih saja dingin seperti saat pertama aku menjejakkan kaki ke tempat ini. Tapi rupanya dingin itu telah menguap, pohon natal dari lilitan lampu pada seutas kawat di bawah balkon kamarku telah membawa hangat yang damai dan tenteram ke dalam hati. Lonceng gereja telah berdentang. Mengingatkanku untuk bersyukur atas napas yang masih bisa kurasa, atas denyut nadi yang masih bergetar di bawah kulit, atas senyum orang-orang yang kusayang yang masih begitu nyata, dan yang terpenting adalah atas damai-Nya yang masih bisa kusimpan, kusentuh dengan seluruh hati.

Ah, sebuah malam natal yang baru. Menghadirkan kisah dongeng yang lain. Meletakkan hadiah natal yang lain pada tempat yang sama. Pun pada detik yang sama. Lalu, lagi-lagi sudut tatapku terperangkap pada hamparan kilau lampu kota Batu juga pohon natal di bawah balkon kamarku. Sungguh indah ditangkap kamera mata sebagai kunang-kunang kecil tak bersayap yang membeku digigit malam yang beku. Sebuah fakta kecil menyelusup masuk dengan tiba-tiba di tengah kedamaian natalku. Lampu-lampu itu indah dalam sebuah koloni, tertata dalam sebuah keteraturan yang acak. Lalu, bagaimana bila mereka harus berdiri sendiri-sendiri? Akankah sama indahnya? Jawabku, tidak! Sebuah lampu kuning kecil yang berdiri sendiri apabila dilihat dari tempat yang tinggi, tidak akan ada artinya sama sekali. Hanya tampak sebagai satu titik kecil, yang karena begitu kecilnya tidak akan cukup indah jika dilihat dengan mata telanjang.

Natal, bukan hanya sehari-dua hari. Natal itu ada setiap hari. Natal itu ada dalam setiap damai. Karena itu kita tak perlu takut ketika malam natal akan berakhir. Karena damai natal itu sendiri juga segala memorinya selalu tersimpan rapi juga rapat di hati kita masing-masing… karena hati itu tidak pernah mengalami amnesia, apa yang kau khawatirkan lagi tentang natal? :)
Selasa, 20 Desember 2011 - , 0 komentar

A Christmas Star


Dulu, semasa kecil, Santa Klaus selalu hadir dalam setiap natal yang tenang dan damai oleh gemerincing lonceng kuning yang digantung di pohon natal. Selalu. Santa Klaus tidak akan pernah mengecewakan anak-anak. Dari atas kereta cantiknya yang ditarik oleh dua belas ekor rusa, Santa Kalus menyembunyikan kado-kado natal dalam sebuah kaus kaki yang kita gantungkan di sebelah tempat tidur. Mengapa kaus kaki? Entahlah, kau jangan bertanya padaku tentang itu. Aku benar-benar tidak tahu menahu soal pilihan Santa itu.

Di masa kini, aku tak lagi menggantungkan harapan-harapanku pada kaus kaki merah yang digantung di dekat tempat tidurku. Terlalu statis, sedangkan dunia membutuhkan sesuatu yang bertumbuh dinamis pada setiap detiknya. Karena itu, aku akan mengganti sepasang kaus kaki merahku dengan sekeping bintang kuning di puncak pohon natalku.

Kepada bintang, aku bercerita, tentang kesendirian yang menyiksaku dengan amat perlahan namun sakitnya melebihi penyakit apa pun jua. Kepada bintang, aku berkeluh kesah, tentang malam natalku nanti yang tiada berhias warna-warni kembang api. Kepada bintang, aku meletakkan harapan terkahirku. Semoga… badan mungilku ini bisa menggapaimu di puncak pohon natal tanpa bantuan kursi pendek dari masa kecilku untuk bisa menyentuhmu. Merasamu dalam hangat jiwaku. Semoga. Wahai bintang di puncak pohon natal, aku tahu kau mendengar semua harap yang tak terkatakan meski kau hanya terus duduk di singgasanamu yang agung, juga melihat binar mata kami di malam kudus. Sebab itu, janganlah kecewakan kami. Biarkan kami menyimpan sebintik pendar kuningmu dalam jiwa kami yang terbekukan oleh sebentuk boneka salju…
Minggu, 18 Desember 2011 - 0 komentar

Waktu untuk Mimpi Kecil…


Aku merasa pusing. Kucoba untuk terus berjalan menapaki waktu yang terus mendaki naik, tapi aku gagal. Aku berjalan di tempat. Salah, tidak bisa disebut berjalan sebenarnya, bergeming adalah kata yang tepat. Tergeming oleh rasa galau yang akhir-akhir ini sedang memasuki masa panen. Tergeming oleh tebaran cerita yang sebenarnya tidak perlu ada. Bukan aku, tapi orang-orang di sekitarku. Sedang aku sendiri sibuk memperhatikan penyebab kegalauan mereka, dan aku tahu salah satu sebabnya kini.

Kita terlalu suka berandai-andai. Tanpa kita sadari, bibir kecil kita sering sekali berkata, ”Andai aku seperti dirinya…” atau “Andai aku punya kemampuan akademik sesempurna dia”. Lalu, aku mulai bertanya-tanya. Mengapa harus dia? Mengapa kamu harus sama seperti dia? Saat cerita-cerita serupa sampai di liang telingaku diiringi sejumput kecewa dan riak kesedihan, secara otomatis semuanya berubah ironis. Harapan kita bisa bertukar posisi meski hanya semenit saja dengan “dia”, membuat diri kita semakin kecil, dan “dia” semakin besar. Menampilkan hidup kita yang tanpa arti, sedangkan hidupnya semakin bersinar gemintang.

Cintai saja apa yang ada di depan kita. Itu saja sudah cukup untuk menghapus semua sesal, kecewa, dan harapan-harapan yang tidak perlu. Percayalah bahwa dibalik semua yang baik di mata kita itu, jauh di dalamnya… ada lara yang tersimpan. Nggak ada yang namanya indah tanpa duka di dunia ini. Nggak akan ada. Biarlah rahasia yang tersimpan di balik keindahan itu tetap tersimpan. Tidak perlu dikoyak. Karena kita juga punya rahasia versi kita sendiri. Yang tentunya akan membuat hidup kita nggak kalah indahnya dengan palet warna. Sisanya tinggal bagaimana kita melukis kanvas putih polos kita dengan palet warna yang sudah ada. :)
Kamis, 15 Desember 2011 - , 0 komentar

Aku, Harta Karun yang Terbuang…



Kalian membuangku. Menganggapku sama sekali tiada guna, dan hanya mampu memenuhi dunia kalian dengan bauku yang menyengat juga penampilanku yang sudah tak rupawan. Aku selalu saja menjadi masalah di mana pun aku berada dalam belahan dunia kecil kalian, para manusia. Kau bilang, akulah penyebab dari bencana banjir yang terjadi. Kau pun berkata, akulah sebab utama dari air sungai yang tak lagi mengalir jernih, tetapi keruh dan berwarna kehijauan penuh eceng gondok yang membuat orang ingin menumpahkan seluruh isi perutnya begitu melihat aliran ini. Kau…--kalian semua—selalu menyalahkan diriku ini. Apakah kalian tidak memiliki sepotong kaca yang kecil sekali pun? Bahwa sejujurnya, kalianlah yang menyebabkan semua ini terjadi, bukan aku, bukan pula temanku yang kini berenang-renang mengambang tak jelas rimbanya.

Kalian selalu seperti itu. Menganggap semua hal di sekitar kalian yang tak lagi penting sebagai sesuatu yang tak berguna dan layak disisihkan dari dunia pribadi kalian. Bukan hanya kepadaku, yang adalah benda mati dan sudah cukup berumur, tetapi juga kepada sesama manusia. Meneror mereka dengan cercaan tiada henti, memukul, membentak, menendang, meludahi, dan sederet hal buruk lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu. Ah… sudahlah, mungkin di dunia sekarang hati tak lagi penting keberadaannya.

Kalian tahu, kalian sudah melupakan satu hal. Seburuk apa pun rupa makhluk juga benda di dunia kalian, masing-masing dari semua itu memiliki nilainya tersendiri. Kalian nggak percaya sama aku? Bahwa sampah sepertiku ini—yang bagi kalian tiada bernilai, dan tak bisa memberikan hal-hal indah bagi kalian—ternyata bisa menjadi harta karun dari kapal karam yang tersisa seperti di dongeng-dongeng sepanjang masa. Tentu saja aku bisa menjadi harta karun itu meski telah kalian buang. Kenapa tidak? Everything is possible cause nothing is impossible, right?

Sahabatku, Chrysler Imperial Crown 1966 yang kalian temui di film layar lebar The Green Hornet (2011) adalah bukti untuk kalian semua. Percaya atau tidak, untuk menampilkan ke-29 buah mobil Chrysler Imperial Crown tahun produksi 1964-1966 pihak pembuat film mengambil mobil-mobil itu dari tempat PEMBUANGAN mobil bekas di Amrik sampai Kanada. Yang artinya, mobil-mobil tersebut adalah “sampah” yang disulap menjadi harta karun. Nyatanya, sekarang kepopuleran mobil itu nggak kalah dengan kepopuleran aktor dan aktris Hollywood. Bahkan, sahabatku ini punya nama yang keren, The Black Beauty. Pun diingat sebagai salah satu jajaran mobil keren: mobil tempur klasik lengkap dengan berbagai senjata seperti senapan mesin, rudal, dan penyembur api. Wuahh…. mobil idaman yang bisa dijadikan inspirasi permohonan untuk diajukan kepada Santa Claus malam natal nanti, nih! He he he…

Sekeping kisah sahabatku ini bukan hanya sekadar dongeng anak-anak, tapi ini adalah nyata adanya. Dia… Chrysler Imperial Crown 1966, mobil yang “terlupakan” dan kini menjadi harta karun. Dia… adalah sampah harta karun. Dia… tertinggal, terlupakan, tersisihkan, dan berakhir pada sebuah nilai yang tinggi.
Minggu, 11 Desember 2011 - , 0 komentar
Kompetisi final sudah terbentang. Kali ini hanya ada dua peserta yang tersisa. Dua peserta dengan keahliannnya masing-masing. Dengan segala keunggulannya sendiri. Tetapi dengan pendar yang sama. Bersiap diri sampai pencapaian tangga terakhir pada kotak kecil ke-100. Meski ular panjang terkadang menghadang, tapi langkah tak pernah surut. Juga tak pernah tersudut.

Peserta pertama menarikan tarian ciptaannya sendiri, menyimpang dari jalur dasar gerak langkah tari pada umumnya. Tidak begitu detil gerak langkah yang ditampilkan, hanya sekelebat lewat seperti sebuah film lama yang diputar cepat dan acak. Memblurkan orisinalitas yang harusnya tersurat. Membuat semua yang harusnya bersifat khusus terlihat seperti jalan raya bergelombang dengan warna abu-abunya yang sama. Dan jatuhlah ia ke titik terendah oleh ular panjang yang transparan.

Lagu berikutnya dimainkan oleh seorang DJ. Efek yang diciptakan sentuhan tangan DJ itu terkesan natural, sama sekali tidak ada unsur dramatisasi, namun sanggup membuat semua yang hadir menahan napas. Sama seperti sebuah koreografi yang pada langkah kecil jarum jam berikutnya dibawakan peserta kedua dengan lincahnya. Tidak ada dramatisasi, tapi sanggup membuat hadirin tergerak untuk ikut bermain peran dalam tariannya. Setiap detil gerak jemarinya juga putaran badannya dalam bidang vertikal maupun horizontal tertanam jentik-jentiknya dalam ruang pribadi semua yang melihat. Putaran badan yang selalu terlihat berbeda meski dilihat dari satu sudut yang sama. Yang juga selalu memancarkan sinar gamma pada segala yang ada dihadapannya.

Hingga pada akhirnya, sinar gamma itu berhasil mengantar peserta kedua pada sebuah bendera di kotak kecil ke-100 bergrafiti: “Alpha of the Heart Dance Movement.”

*Sebuah kado 11 November 2011
Kepada dua garis violet dan merah muda…
Kamis, 20 Oktober 2011 - , 0 komentar

Puzzle Monster


Aku mengamati sekumpulan anak manusia yang sedang asyik membakar hutan. Wajah mereka semua tampak puas dan tanpa dosa. Pohon-pohon di sekitar mereka mulai rata menjadi tanah. Hewan-hewan buas dan liar yang telah lama menempati habitat mereka itu, berhamburan berusaha keluar dari panasnya api yang masih membara. Anak-anak manusia itu seolah tak mengerti apa yang mereka perbuat barusan. Padahal, setahuku, di dunia internasional sekarang ini sedang gencar-gencarnya menyemarakkan go green, be veg, dan lain sebagainya.


“Kau tahu, Nak, kita akan membuka ladang yang amatt luas di tanah bekas hutan ini. Pasti tanaman kita akan tumbuh subur dan kita akan menjadi kaya-raya! Ha ha ha….” Seorang bapak yang berambut putih tertawa teramat keras, hingga menulikan telingaku.


Seorang anak lelaki kecil yang berdiri di sebelah kanan bapak itu, hanya mengangguk-angguk dengan wajah polosnya. Ah… betapa ia tak tahu resiko yang harus ditanggung seluruh masyarakat dunia oleh karena tindakan “kecil” ayahnya itu.


Aku merasa gerah. Kulitku yang sudah tipis ini rasanya semakin menipis. Matahari semakin garang mengirimkan udara panasnya menembus kulitku. Sekelompok anak manusia di belahan dunia yang berbeda semakin kepanasan. Apalagi, daerah mereka termasuk daerah kering yang sedikit sekali curah hujannya. Air semakin langka dan teramat berharga bagai emas di negara itu. Beberapa orang berkeliling menjajakan air bersih pada orang-orang di sekitarnya. Tentu saja dengan harga yang tinggi. Bagi orang-orang miskin yang tak mampu membeli air bersih, mereka menggunakan air seadanya yang tersedia sebagai pemenuh kebutuhan dasar, seperti mandi, memasak, dan minum. Mereka sama sekali tak ikut andil dalam merusak kulitku, tapi mereka harus terkena imbasnya. Aku turut sedih atas kehidupan mereka. Kemudian, aku teringat sekumpulan anak manusia yang suka membuang-buang air. Rupanya air yang melimpah dan mudah didapat di negara mereka, yang telah membuat mereka sama sekali tak menghargai air. Aku yakin, suatu saat nanti anak-anak itu akan mendapat “imbalannya”. Nanti…, ketika semua air di dunia menjadi asin seperti air laut.


Aku mengalihkan tatapanku ke arah segerombolan remaja di sebuah café. Masing-masing dari mereka asyik bermain dengan laptop yang mereka bawa. Meski jam demi jam berlalu, remaja-remaja itu tak juga terlihat akan segera menghentikan kegiatan mereka. Tak tahukah mereka bahwa listrik yang mereka habiskan untuk bermain laptop akan semakin mengikis kulitku? Karena emisi yang dihasilkan pada perusahaan pembangkit listrik bisa semakin besar dan semakin merusakku? Bahasa sederhananya sih, semakin banyak listrik yang digunakan masyarakat, akan semakin banyak pula gas pembuangan beracun yang dihasilkan pembangkit listrik. Tidak adakah seorang manusia pun di dunia ini yang mau peduli pada kesehatanku? Yang mau memberiku waktu barang sejenak untuk mengobati kulitku yang “terluka” ini? Apakah mereka sama sekali tak tahu bahwa aku akan semakin lemah dan semakin mudah hancur jika seluruh kulitku habis terbakar pemanasan global?


Andai saja aku bisa berbicara. Tentu aku akan berteriak sekeras yang kubisa untuk mengingatkan semua anak manusia agar berhenti sejenak untuk menyakitiku, memberiku sedikit waktu untuk mengambil napas. Kalau mereka bisa melakukan semua itu, tentu aku bisa melindungi mereka dari sengatan matahari lebih baik dari hari ini. Dan disamping itu semua, tak akan ada lagi musim hujan yang nggak jelas, sakit flu yang tak kunjung sembuh, dan omelan panjang-pendek tentang panasnya cuaca.


So, what are u waiting for, guys? Keep our earth green and get the better time!
Sabtu, 27 Agustus 2011 - 0 komentar

Malam Biru Kita

Delapan tahun berlalu sudah dalam kebisuan hati
Kala itu,
Aku mengeluhkan nilai matematikaku yang selalu jelek
Dan Ibu hanya berkata,”Tidak, Ibu yakin sekali nilai matematikamu bisa bagus. Saya akan menyuapimu dengan matematika.”
Benar, Ibu memang peramal hebat
Bahkan Ibu selalu mendamaikanku dan matematika dengan belaian lembut yang hangat
Menyejukkan
Aku menyayangimu, Ibu, sejak saat pertama kali Ibu masuk ke kelasku
Mungkin Ibu memang bukan ibu peri dalam cerita Cinderella,
dan bukan juga penolong super layaknya superman
Tapi tanganmu, caramu membelaiku, dan detil perkataanmu akan menjadi ukiran abadi hati ini
Selalu, Ibu
Aku tak lagi pernah takut pada Matematika
Dan aku sangat ingin menunjukkan hasil kerja kerasmu selama ini untukku
Nilai matematikaku yang meningkat

Andai kubisa,
Akan kuberikan sebuah penghargaan yang cukup berarti tuk Ibu kenang
Ibu peluk..
Dan bisa membuat Ibu mengerti betapa berharganya diri Ibu untukku
Tapi aku mengerti
Dan sangat memahami arti sebuah roda dalam kehidupan
Gelap dan Terang akan silih berganti seiring dengan berputarnya roda hidup
Tawa dan tangis juga bergantian mengisi musim di antara kita
Hanya kita yang rasa
Dan hanya kita yang tahu
Tak ada yang lain
Dan jangan berharap akan ada yang lain
Karena ini adalah rahasia kita

Aku tahu,
Bintang di atas sana tak lagi mau berpihak padaku
Dan tak lagi memberi waktu kepada kita
Maafkan aku, Ibu
Meski maaf ini sudah sangat terlambat,
Mengingat sudah delapan tahun semua berlalu,
Tapi maaf ini dari hati kecilku
Untuk semua kenakalanku yang membuat Ibu semakin lelah
Untuk keluhanku yang kadang terlalu berlebihan
Dan untuk hati ini yang dulu membenci subjek yang Ibu ajarkan
Maaf
Maaf
Dan hanya satu kata untuk mengiringi Ibu di sana:
Maaf

Selamat jalan, Ibu
Semoga Ibu bisa berbahagia di balik ribuan bintang di horizon sana…
Salam sayang untuk Ibu selalu..

*didedikasikan untuk (alm) Ibu Tatik Hermanti tercinta
Sabtu, 20 Agustus 2011 - 0 komentar

My day, My Trip

Lelah
Tubuh ini serasa sudah hancur berkeping
dan tak terhitung jumlah kepingannya
Tapi, hati ini serasa bagai danau warna, warna pastel

Yeah, i'm really happy today.
Mencoba 'tuk mengisi ketidaksempurnaan dalam sebuah gerak irama
Berbagi sebutir senyum untuk my besties
Asli deh, sebuah senyuman itu bermakna banget untukku
Bahkan dengan sebuah senyuman, mood-ku bisa membaik
Hanya dengan sebuah senyuman!

Senyum itu seni, senyum itu dahsyat, dan senyum itu adalah mentari di Alaska...
Senin, 15 Agustus 2011 - 2 komentar

Penting yang Ga Penting

Tulang-tulang tubuhku bergemeletuk nyaring
Meninggalkan serpihan-serpihan putih tak kasat mata

Dan, kini aku berdiri menatap benda yang paling kubenci saat ini
Bentuknya yang bulat sempurna semakin menambah geram
Kenapa engkau tidak bisa berhenti bergerak?
Tidak maukah menungguku berlari barang hanya semenit?
Tanya ini tidak akan berhenti di benakku, meski kutahu jawabnya, TIDAK!

Kau terus berlari,
Tidak, bukan lagi berlari tapi terbang
Sedangkan aku hanya bisa berlari di sini
Menggunakan sepasang penumpu badan yang serba terbatas,
bukan dengan pesawat jet
Tapi, engkau tetap tak pernah mau memutar kepalamu ke belakang
Egois memang, tapi itulah dirimu...
Minggu, 07 Agustus 2011 - 2 komentar

The Original Me

Suatu siang, ketika aku lagi bosan-bosannya mendengarkan penjelasan guru di depan kelas, A—temanku yang duduk tepat di belakang bangkuku—menyentuh pelan pundakku. Aku memutar sedikit badanku ke arahnya, takut mengalihkan perhatian sang guru dan seisi kelas kalau aku terlalu menghadap ke arahnya. Aku sedikit lega melihat ada seorang temanku yang sepertinya bernasib sama sepertiku, dan mau menemaniku untuk mengobrol ringan.

“Hei, ucapanmu benar. Aku baru saja mengamati warna rambutku di bawah terik sang mentari, dan aku baru sadar kalau rambutku berwarna cokelat seperti yang kau katakan beberapa hari yang lalu. Ahhh… rambutku nggak bagus, dong. Di iklan-iklan di tv disebutkan kalau warna rambut yang bagus adalah yang hitam legam. Kau beruntung, rambutmu tetap berwarna hitam ketika diterpa kilau matahari,” cerita si A.

Aku hanya tersenyum mendengarnya, dan menjawab,” Bukan berarti rambutmu tidak bagus, A. Itu hanyalah cara promosi dari produk shampo untuk melariskan dagangannya. Rambut yang cokelat juga bagus menurutku, lebih menunjukkan keanekaragaman kecantikan Indonesia.”

Dengan ucapan kecilnya A, aku jadi sedikit berpikir tentang iklan-iklan tv yang selama ini menghiasi layar kaca. Dan aku baru sadar, bahwa iklan-iklan tersebut secara tak langsung ‘mencuci’ otak kita tentang pedoman yang ideal. Misalnya saja, ketika kita melihat iklan bedak padat di tv. Kebanyakan model yang membawakan iklan-iklan produk kecantikan sejenis itu adalah model yang berkulit putih, langsing, wajah bersih tanpa setitik pun noda, rambut panjang yang hitam, dsb. Kenapa sih, model-model itu harus yang berkulit putih dan mulus? Padahal, masih banyak kecantikan asli Indonesia yang tak kalah dengan semua itu. Ditambah lagi kalau kita mau memakai pakaian adat tradisional ketika mengiklankan suatu produk. Tentu Indonesia dan budayanya akan lebih dikenal masyarakat luar. Dan bagusnya lagi, kita juga tidak memiliki pedoman pemikiran kecantikan idealis yang salah. Cantik itu tidak harus putih, tapi cukuplah dengan punya kepribadian yang kuat, percaya diri, dan kulit yang sehat. Kenapa kita harus berlomba-lomba untuk memakai berbagai produk pemutihan kulit kalau kecantikan yang kita miliki termasuk kecantikan yang unik?

Cantik itu unik, orisinal, apa adanya. Tidak dilebih-lebihkan.

“I’m beautifull in my way, cause God makes no mistake. I’m on the right track, baby, I was born this way… Just love yourself and your set.” –Lady Gaga-Born this way
Selasa, 02 Agustus 2011 - 2 komentar

All about my world, my dance...

‘Nganggur nih, mau ngapain, ya? Nggak ada yang bisa dikerjakan. Bosan, ah.’ Kalimat-kalimat itulah yang sering terlontar ketika kita (para siswa) sedang ada di musim liburan. Kita manusia, benar-benar makhluk yang sungguh unik dan sulit dimengerti. Ketika kita lagi banyak-banyaknya tugas, sibuk dengan berbagai kegiatan di sekolah, kita justru pingin banget bisa punya libur panjang supaya bisa malas-malasan lagi. Tapi, justru saat liburan kita pingin balik lagi pada kegiatan kita yang super sibuk. Ahh… bingung, deh.

Nah, aku punya satu cerita tentang liburan kenaikan kelas kemarin yang lumayan asyik, seru, dan berkesan. Sebenarnya, semua yang aku lakukan di liburan itu sudah bermula dari sebelum liburan, tepatnya waktu UAS semester dua. Di saat semua anak di sekolahku lagi sibuk-sibuknya belajar, aku justru sibuk menyiapkan diri untuk latihan pertamaku di sebuah crew di sekolah. Hm… sebut saja, crew Z. Jujur, waktu itu aku senengg banget dan antusias to the max begitu mendengar kalau aku dikasih kesempatan buat latihan dance sama mereka. Karena itu, aku berusaha mempersiapkan sebaik-baiknya supaya mereka juga nggak kecewa karena sudah kasih kesempatan berharga ini buat aku. Aku mulai mencoba lagi gerakan-gerakan dance yang sudah pernah aku dapatkan waktu ekstra dance kelas 10, menonton berbagai video dance yang menurutku asyik, dan bertanya ini-itu tentang crew Z dan tips-tips belajar dance. Kadang, aku suka nggak percaya sama semua ini. Aku lagi mimpi, ya? Masa sih ini semua beneran ada? Ha ha ha… konyol banget, deh, pikiranku saat itu.

Dan, tradaa.. hari itu pun datang. Dan inilah diary latihanku selama liburan:

Hari ke-1 latihan:
Aku sama temanku hari ini belajar banyak hal baru bersama crew Z. Popping, body wave, dan fluid is so cool! Want to learn more.

Hari ke-2 latihan:
Oke, hari ini aku mulai merasakan sesuatu dalam latihanku. Tapi, rasa ini akan selalu jadi rahasiaku dan temanku seorang. Aku menyimpannya dengan sangat hati-hati dan melanjutkan latihanku. Dan latihan hari ini berakhir dengan pelajaran moon walk, crab, dan tutting. Pe-er buat aku dan temanku untuk melatihnya lagi.

Singkat cerita, kegiatan ini berlangsung terus selama seiktar dua minggu liburanku. Dan yah, cukup banyak basic yang aku pelajari. Ada shuffle, jungle juice, niger step, bounching, scuba, twirl, lock, five, mosquito, earth walk, air walk, slide glide, jerking, step funk, point, spin, old man, dan ticking yang aku pelajari pada hari-hari berikutnya.

Menjelang akhir dari liburan, materi terakhirku adalah koreografi. Materi yang cukup sulit menurutku, tapi menarik. Aku selalu pingin bisa menjadi koreografer nantinya. It’s so much fun. Oh, ya, selama belajar koreografi, waktu latihan juga diselingi dengan basic break dance: up rock dan down rock. Memang tidak begitu detil, tapi setidaknya aku tahu dan sedikit menguasainya.

Awal masuk sekolah pada tahun ajaran baru, aku mulai merasakan sesuatu yang mereka semua tidak pernah tahu. Sesuatu yang sudah aku duga dari awal. Dan dari sini aku sudah bisa menebak ke mana semua ini akan berlanjut. Ya, aku tahu, aku bisa merasakan sinyal-sinyal itu. Bukan karena aku anak yang begitu sensitif, tetapi semuanya terlalu jelas. Ya, inilah akhirnya. This is the time.
Jumat, 17 Juni 2011 - 2 komentar

Tentang Seseorang yang Banyak Berarti

Namanya Pak Ri, tukang becak langganan depan rumahku. Aku tak tahu pasti berapa umurnya, mungkin sekitar 57 tahun. Dari segi penampilan, tidak ada yang berbeda darinya. Tapi, kalau mau melihat lebih dalam lagi, banyak perbedaan antara dirinya dan tukang-tukang becak lainnya. Pak Ri adalah seorang tukang becak yang jujur dan tak pernah menuntut patokan harga yang tinggi pada penumpangnya. Orangnya ramah dan pelayanannya sangat baik pada penumpang. Dulu, aku selalu diantarnya ke mana pun aku mau (yang pasti tidak terlalu jauh dari rumahku). Kalau ada yang bertanya atau menertawaiku karena aku lebih memilih naik becak dibanding naik angkutan umum atau kendaraan bermotor lainnya, aku hanya akan tersenyum dan berkata,” Apa salahnya naik becak? Naik becak itu asyik. Kita bisa merasakan semilir angin yang membelai wajah dan menatap langit dengan leluasa. Mungkin kalian lebih suka naik kendaraan bermotor yang cenderung lebih cepat, tapi bagaimana pun juga aku lebih suka naik becak dan transportasi jadul lainnya (baca: delman). Malu? Tidak, aku tidak pernah malu naik becak ke mana-mana. Justru seharusnya bangga, karena kita bisa lebih cinta Bumi dan mau peduli sama orang-orang kecil seperti mereka.”

Aku suka merasa kasian padanya ketika melihatnya tertidur pulas di atas becaknya. Dengar-dengar sih, anaknya ada 9, dan ada yang masih sekolah. Aku kasihan padanya yang harus banting tulang menghidupi keluarganya. Bekerja pagi-siang-sore demi keluarganya. Bahkan, ejekan dan makian pun diterimanya dengan lapang dada demi semua itu. Beliau memang orang yang sabar dan sangat baik. Tidak pernah terlintas sedikit pun di benaknya untuk mengambil keuntungan dari para penumpangnya. Berbeda dengan tukang becak jaman sekarang yang suka menuntut bayaran yang tinggi dan suka mengambil keuntungan dari para penumpang, seperti membawa kabur.

Suatu kali, Pak Ri dimaki oleh tetangga sebelah rumahku yang penghuninya baru saja ganti. Karena sang ayah meninggal, jadilah yang menempati rumah itu anaknya. Dan Pak Ri disalahkan atas kematian sang ayah. Dituduh tidak menjaga beliau dengan baik lah, tidak membersihkan rumah dengan benar lah, dan tuduhan lainnya. Padahal, Pak Ri selalu menggunakan totalitas ketika sedang mengerjakan suatu hal. Tidak pernah separuh-separuh. Tapi, ya begitulah kata orang nasib orang baik. Mendapat pahit dan kekalahan di awal, namun mendapat manis dan kemenangan mutlak di akhir.

Akhir-akhir ini, Pak Ri semakin jarang membecak. Beliau lebih sering menerima pesanan pengecatan rumah atau pembersihan rumah, seperti bersih-bersih halaman depan, dsb. Aku nggak tahu pasti kenapa beliau jadi jarang membecak, tapi mungkin saja karena usia yang semakin tua. Seringnya, ketika aku memintanya mengantarku ke suatu tempat, beliau malah merekomendasikan seorang pak becak yang berumur sekitar 35 tahun-an, yang masih saudara dekat sama beliau. Mungkin mereka berdua memang sama-sama baik dan tidak menuntut macam-macam, tetapi rasanya tetap berbeda diatar dengannya dan dengan Pak Ri. Hahh... aku tetap lebih rindu pada senyum Pak Ri setiap sebelum dan selesai mengantarku ke suatu tempat. Senyum yang penuh dengan ketulusan hati dan susah ditemukan di antara orang-orang kota jaman sekarang ini....

Mungkin bagi kebanyakan orang, sosok seperti beliau nggak termasuk dalam jajaran orang-orang berarti dalam hidup. Yang jelas, untukku, beliau adalah sosok yang bisa memotivasiku untuk bisa lebih berusaha keras dalam hidup, dan beliau sudah mengajarkanku satu hal dari hidup: ketegaran dalam menjalani berbagai situasi dalam kehidupan. Dan kalau kita mau melirik pada hidup orang-orang seperti beliau, tentu kita bisa belajar banyak hal baik dan positif tentang nilai hidup dari mereka. Jangan melihat mereka dari luarnya, tapi lihatlah dari dalam. He he he....

Terimakasih, Pak, untuk semua yang terbaik yang telah bapak berikan. Terus berjuang, ya, Pak! Semoga bapak bisa semakin kuat dan tegar dalam menjalani hidup yang berat....^o^
Jumat, 11 Februari 2011 - 1 komentar

Gadis Cilik Bernama Adel


Adel menatap meja belajarnya yang sekaligus menjadi meja makan keluarganya itu dengan lesu. Biasanya, di meja itu tertempel sebuah kertas berisi sebuah jadwal pelajaran sekolahnya selama seminggu. Tapi kini meja itu kosong. Lalu, pikirannya melayang. Siang tadi ketika akan menitipkan kue dagangannya di pasar, ia melihat sekelompok siswa yang melarikan diri dari sekolah. Bolos. Mereka berlari-lari sambil menoleh ke belakang, ke arah gerbang sekolah mereka. Tiba-tiba, perasaan benci dalam hatinya membara. Ia benci pada anak-anak itu, juga iri. Ingin sekali ia menjadi salah satu dari mereka. Bisa bersekolah dengan riang tanpa memikirkan biaya. Tapi apa daya, memang inilah nasibnya. Fiuhh….
Minggu, 02 Januari 2011 - 1 komentar

Malam Tahun Baru 2011

Hm… Malam ini adalah malam tahun baru yang indah bagiku. Tahun ini, aku memang nggak pergi ke mana pun untuk merayakannya. Kami sekeluarga hanya makan malam di Harmoni café&resto yang terkenal dengan gurami goring laosnya–menurut Pak Bondan, maknyusss, gituhh!. Nah, sepulangnya dari sana kami bertukar cerita tentang kegiatan kami selama seminggu ini.

“Pak Aman terlihat amat sangat senang, lo, waktu aku memberikan kaus dari Krisna itu–kaus warna coklat dengan gambar lucu di bagian depannya–kepadanya. Bahkan, saking senangnya dia berkata padaku ‘Terimakasih, terimakasih sekali, Pak. Mendapat baju bekas dari Bapak saja saya akan merasa sangat senang, apalagi mendapat baju baru seperti sekarang. Terimakasih untuk perhatiannya, Pak.’” Papaku tersenyum senang.

Kau tahu, saat itu aku bisa merasakan kebahagiaan yang sedang dirasakan Papaku itu ketika ia bercerita. Senanggg sekali… Melihat orang lain tersenyum karenaku adalah suatu kebahagiaan tersendiri untukku. Kebahagiaan yang terasa berbeda dengan kebahagiaan yang kita rasakan karena hal lain–saat kita sedang bercanda, berlibur, atau bermain.

“Aku sebenarnya belum menyerahkan sandal jepit–sandal jepit buatan Krisna yang berwarna ungu (seingatku, sih. Hehehe) dan berbentuk kaki yang besar. (bentuknya yang unik memang sanggup membuat orang jadi tertarik)–oleh-oleh dari Bali ketika dia datang ke rumah. Aku nggak tahu dia habis ke mana. Yang jelas, ketika itu dia datang ke rumah membawa sekotak kardus kue yang isinya pukis. Dan itu jumlahnya mencapai puluhan! Bayangkan, kotak itu terisi penuh dengan pukis. Akhirnya, aku memberikan sandal Krisna kepadanya sesaat setelahnya. Hm… Aku senang, dia juga senang. Hahah…” Lagi-lagi Papa tersenyum. *senang sekali rasanya melihat Papa tersenyum begitu bahagia*

“Menurutku, pukisnya kebanyakan kalau dimakan sendiri, jadinya aku membaginya dengan anak-anak kantor, deh. Mereka bilang, pukisnya enak. Ya, aku senang sekali karena kali ini aku bisa membuat banyak orang senang dengan berbagi. Hahhhh… Lega sekali rasanya melihat senyum di wajah mereka.”

Aku memandang Papa sambil tersenyum, ikut merasakan energi positif yang sedang menimpa Papa. Merasakan sedikit kebahagiaan Papa saat ini walaupun aku nggak ikut berbagi. Cerita Papa kali ini adalah cerita terbaik yang kudengar pada malam tahun baru. Malam-malam tahun baru sebelumnya, aku hanya berlibur dan merayakannya di hotel. Berbeda sekali apa yang kurasakan saat ini dengan malam-malam tahun baru sebelumnya. (walaupun tahun ini aku hanya mendengar cerita, sih.) Cerita ini telah menginspirasiku untuk lebih berbagi dengan sesama apa yang kupunya. Dengan berbagi, segalanya akan terasa lebih indah, lebih mudah, dan tentunya kita akan mendapat “kebahagiaan tersendiri”.

Berbagi itu indaahhhh bangettt… Jadi, kenapa kita nggak mulai dari sekarang dari hal-hal kecil? Membagi sedikit waktu kita untuk membantu adik belajar, “menabung” sedikit dari uang jajan uang kita pada orang-orang miskin dan terlantar yang membutuhkan, memberi pujian pada orang di sekitar kita sesering mungkin (percaya atau enggak, memberi orang lain pujian itu sangat membantu orang tersebut dan kita tentunya, untuk memperbaiki mood yang jelek. Kita dan dia akan merasa lebih baik setelahnya, gitu, deh, bahasa simpelnya…), atau hal-hal kecil lainnya yang mampu kita lakukan. Oke, selamat berbagi teman-teman! Semoga kalian nggak ada bosan-bosannya untuk berbagi, yah. And… Have a nice new year, guys!

Blogroll

Backstreet Boys - As Long As You Love Me