Rabu, 28 Desember 2011 - , , 0 komentar

Di Pucuk Malam Natal



Kali ini aku mengalihkan pandanganku pada sekumpulan “bintang” yang terhampar di bawah balkon kamarku. Natal yang indah. Natal yang selalu menawan. Kutatap “bintang-bintang”-ku dengan segenap emosi kerinduan yang ada. Semua masih sama. Hanya saja minus Santa Klaus dan juga balon. Ah, sudahlah. Malam ini, aku hanya ingin menikmati natal yang ada di hadapanku, bukan natal-natal yang lain.

Udara di kota Batu masih saja dingin seperti saat pertama aku menjejakkan kaki ke tempat ini. Tapi rupanya dingin itu telah menguap, pohon natal dari lilitan lampu pada seutas kawat di bawah balkon kamarku telah membawa hangat yang damai dan tenteram ke dalam hati. Lonceng gereja telah berdentang. Mengingatkanku untuk bersyukur atas napas yang masih bisa kurasa, atas denyut nadi yang masih bergetar di bawah kulit, atas senyum orang-orang yang kusayang yang masih begitu nyata, dan yang terpenting adalah atas damai-Nya yang masih bisa kusimpan, kusentuh dengan seluruh hati.

Ah, sebuah malam natal yang baru. Menghadirkan kisah dongeng yang lain. Meletakkan hadiah natal yang lain pada tempat yang sama. Pun pada detik yang sama. Lalu, lagi-lagi sudut tatapku terperangkap pada hamparan kilau lampu kota Batu juga pohon natal di bawah balkon kamarku. Sungguh indah ditangkap kamera mata sebagai kunang-kunang kecil tak bersayap yang membeku digigit malam yang beku. Sebuah fakta kecil menyelusup masuk dengan tiba-tiba di tengah kedamaian natalku. Lampu-lampu itu indah dalam sebuah koloni, tertata dalam sebuah keteraturan yang acak. Lalu, bagaimana bila mereka harus berdiri sendiri-sendiri? Akankah sama indahnya? Jawabku, tidak! Sebuah lampu kuning kecil yang berdiri sendiri apabila dilihat dari tempat yang tinggi, tidak akan ada artinya sama sekali. Hanya tampak sebagai satu titik kecil, yang karena begitu kecilnya tidak akan cukup indah jika dilihat dengan mata telanjang.

Natal, bukan hanya sehari-dua hari. Natal itu ada setiap hari. Natal itu ada dalam setiap damai. Karena itu kita tak perlu takut ketika malam natal akan berakhir. Karena damai natal itu sendiri juga segala memorinya selalu tersimpan rapi juga rapat di hati kita masing-masing… karena hati itu tidak pernah mengalami amnesia, apa yang kau khawatirkan lagi tentang natal? :)
Selasa, 20 Desember 2011 - , 0 komentar

A Christmas Star


Dulu, semasa kecil, Santa Klaus selalu hadir dalam setiap natal yang tenang dan damai oleh gemerincing lonceng kuning yang digantung di pohon natal. Selalu. Santa Klaus tidak akan pernah mengecewakan anak-anak. Dari atas kereta cantiknya yang ditarik oleh dua belas ekor rusa, Santa Kalus menyembunyikan kado-kado natal dalam sebuah kaus kaki yang kita gantungkan di sebelah tempat tidur. Mengapa kaus kaki? Entahlah, kau jangan bertanya padaku tentang itu. Aku benar-benar tidak tahu menahu soal pilihan Santa itu.

Di masa kini, aku tak lagi menggantungkan harapan-harapanku pada kaus kaki merah yang digantung di dekat tempat tidurku. Terlalu statis, sedangkan dunia membutuhkan sesuatu yang bertumbuh dinamis pada setiap detiknya. Karena itu, aku akan mengganti sepasang kaus kaki merahku dengan sekeping bintang kuning di puncak pohon natalku.

Kepada bintang, aku bercerita, tentang kesendirian yang menyiksaku dengan amat perlahan namun sakitnya melebihi penyakit apa pun jua. Kepada bintang, aku berkeluh kesah, tentang malam natalku nanti yang tiada berhias warna-warni kembang api. Kepada bintang, aku meletakkan harapan terkahirku. Semoga… badan mungilku ini bisa menggapaimu di puncak pohon natal tanpa bantuan kursi pendek dari masa kecilku untuk bisa menyentuhmu. Merasamu dalam hangat jiwaku. Semoga. Wahai bintang di puncak pohon natal, aku tahu kau mendengar semua harap yang tak terkatakan meski kau hanya terus duduk di singgasanamu yang agung, juga melihat binar mata kami di malam kudus. Sebab itu, janganlah kecewakan kami. Biarkan kami menyimpan sebintik pendar kuningmu dalam jiwa kami yang terbekukan oleh sebentuk boneka salju…
Minggu, 18 Desember 2011 - 0 komentar

Waktu untuk Mimpi Kecil…


Aku merasa pusing. Kucoba untuk terus berjalan menapaki waktu yang terus mendaki naik, tapi aku gagal. Aku berjalan di tempat. Salah, tidak bisa disebut berjalan sebenarnya, bergeming adalah kata yang tepat. Tergeming oleh rasa galau yang akhir-akhir ini sedang memasuki masa panen. Tergeming oleh tebaran cerita yang sebenarnya tidak perlu ada. Bukan aku, tapi orang-orang di sekitarku. Sedang aku sendiri sibuk memperhatikan penyebab kegalauan mereka, dan aku tahu salah satu sebabnya kini.

Kita terlalu suka berandai-andai. Tanpa kita sadari, bibir kecil kita sering sekali berkata, ”Andai aku seperti dirinya…” atau “Andai aku punya kemampuan akademik sesempurna dia”. Lalu, aku mulai bertanya-tanya. Mengapa harus dia? Mengapa kamu harus sama seperti dia? Saat cerita-cerita serupa sampai di liang telingaku diiringi sejumput kecewa dan riak kesedihan, secara otomatis semuanya berubah ironis. Harapan kita bisa bertukar posisi meski hanya semenit saja dengan “dia”, membuat diri kita semakin kecil, dan “dia” semakin besar. Menampilkan hidup kita yang tanpa arti, sedangkan hidupnya semakin bersinar gemintang.

Cintai saja apa yang ada di depan kita. Itu saja sudah cukup untuk menghapus semua sesal, kecewa, dan harapan-harapan yang tidak perlu. Percayalah bahwa dibalik semua yang baik di mata kita itu, jauh di dalamnya… ada lara yang tersimpan. Nggak ada yang namanya indah tanpa duka di dunia ini. Nggak akan ada. Biarlah rahasia yang tersimpan di balik keindahan itu tetap tersimpan. Tidak perlu dikoyak. Karena kita juga punya rahasia versi kita sendiri. Yang tentunya akan membuat hidup kita nggak kalah indahnya dengan palet warna. Sisanya tinggal bagaimana kita melukis kanvas putih polos kita dengan palet warna yang sudah ada. :)
Kamis, 15 Desember 2011 - , 0 komentar

Aku, Harta Karun yang Terbuang…



Kalian membuangku. Menganggapku sama sekali tiada guna, dan hanya mampu memenuhi dunia kalian dengan bauku yang menyengat juga penampilanku yang sudah tak rupawan. Aku selalu saja menjadi masalah di mana pun aku berada dalam belahan dunia kecil kalian, para manusia. Kau bilang, akulah penyebab dari bencana banjir yang terjadi. Kau pun berkata, akulah sebab utama dari air sungai yang tak lagi mengalir jernih, tetapi keruh dan berwarna kehijauan penuh eceng gondok yang membuat orang ingin menumpahkan seluruh isi perutnya begitu melihat aliran ini. Kau…--kalian semua—selalu menyalahkan diriku ini. Apakah kalian tidak memiliki sepotong kaca yang kecil sekali pun? Bahwa sejujurnya, kalianlah yang menyebabkan semua ini terjadi, bukan aku, bukan pula temanku yang kini berenang-renang mengambang tak jelas rimbanya.

Kalian selalu seperti itu. Menganggap semua hal di sekitar kalian yang tak lagi penting sebagai sesuatu yang tak berguna dan layak disisihkan dari dunia pribadi kalian. Bukan hanya kepadaku, yang adalah benda mati dan sudah cukup berumur, tetapi juga kepada sesama manusia. Meneror mereka dengan cercaan tiada henti, memukul, membentak, menendang, meludahi, dan sederet hal buruk lainnya yang tak bisa disebutkan satu per satu. Ah… sudahlah, mungkin di dunia sekarang hati tak lagi penting keberadaannya.

Kalian tahu, kalian sudah melupakan satu hal. Seburuk apa pun rupa makhluk juga benda di dunia kalian, masing-masing dari semua itu memiliki nilainya tersendiri. Kalian nggak percaya sama aku? Bahwa sampah sepertiku ini—yang bagi kalian tiada bernilai, dan tak bisa memberikan hal-hal indah bagi kalian—ternyata bisa menjadi harta karun dari kapal karam yang tersisa seperti di dongeng-dongeng sepanjang masa. Tentu saja aku bisa menjadi harta karun itu meski telah kalian buang. Kenapa tidak? Everything is possible cause nothing is impossible, right?

Sahabatku, Chrysler Imperial Crown 1966 yang kalian temui di film layar lebar The Green Hornet (2011) adalah bukti untuk kalian semua. Percaya atau tidak, untuk menampilkan ke-29 buah mobil Chrysler Imperial Crown tahun produksi 1964-1966 pihak pembuat film mengambil mobil-mobil itu dari tempat PEMBUANGAN mobil bekas di Amrik sampai Kanada. Yang artinya, mobil-mobil tersebut adalah “sampah” yang disulap menjadi harta karun. Nyatanya, sekarang kepopuleran mobil itu nggak kalah dengan kepopuleran aktor dan aktris Hollywood. Bahkan, sahabatku ini punya nama yang keren, The Black Beauty. Pun diingat sebagai salah satu jajaran mobil keren: mobil tempur klasik lengkap dengan berbagai senjata seperti senapan mesin, rudal, dan penyembur api. Wuahh…. mobil idaman yang bisa dijadikan inspirasi permohonan untuk diajukan kepada Santa Claus malam natal nanti, nih! He he he…

Sekeping kisah sahabatku ini bukan hanya sekadar dongeng anak-anak, tapi ini adalah nyata adanya. Dia… Chrysler Imperial Crown 1966, mobil yang “terlupakan” dan kini menjadi harta karun. Dia… adalah sampah harta karun. Dia… tertinggal, terlupakan, tersisihkan, dan berakhir pada sebuah nilai yang tinggi.
Minggu, 11 Desember 2011 - , 0 komentar
Kompetisi final sudah terbentang. Kali ini hanya ada dua peserta yang tersisa. Dua peserta dengan keahliannnya masing-masing. Dengan segala keunggulannya sendiri. Tetapi dengan pendar yang sama. Bersiap diri sampai pencapaian tangga terakhir pada kotak kecil ke-100. Meski ular panjang terkadang menghadang, tapi langkah tak pernah surut. Juga tak pernah tersudut.

Peserta pertama menarikan tarian ciptaannya sendiri, menyimpang dari jalur dasar gerak langkah tari pada umumnya. Tidak begitu detil gerak langkah yang ditampilkan, hanya sekelebat lewat seperti sebuah film lama yang diputar cepat dan acak. Memblurkan orisinalitas yang harusnya tersurat. Membuat semua yang harusnya bersifat khusus terlihat seperti jalan raya bergelombang dengan warna abu-abunya yang sama. Dan jatuhlah ia ke titik terendah oleh ular panjang yang transparan.

Lagu berikutnya dimainkan oleh seorang DJ. Efek yang diciptakan sentuhan tangan DJ itu terkesan natural, sama sekali tidak ada unsur dramatisasi, namun sanggup membuat semua yang hadir menahan napas. Sama seperti sebuah koreografi yang pada langkah kecil jarum jam berikutnya dibawakan peserta kedua dengan lincahnya. Tidak ada dramatisasi, tapi sanggup membuat hadirin tergerak untuk ikut bermain peran dalam tariannya. Setiap detil gerak jemarinya juga putaran badannya dalam bidang vertikal maupun horizontal tertanam jentik-jentiknya dalam ruang pribadi semua yang melihat. Putaran badan yang selalu terlihat berbeda meski dilihat dari satu sudut yang sama. Yang juga selalu memancarkan sinar gamma pada segala yang ada dihadapannya.

Hingga pada akhirnya, sinar gamma itu berhasil mengantar peserta kedua pada sebuah bendera di kotak kecil ke-100 bergrafiti: “Alpha of the Heart Dance Movement.”

*Sebuah kado 11 November 2011
Kepada dua garis violet dan merah muda…

Blogroll

Backstreet Boys - As Long As You Love Me