Rabu, 26 Desember 2012 - 2 komentar

Gift From God

Malam ini akan menjadi malam natal ke-17 yang aku rayakan. Sebuah malam singkat yang bagi sebagian orang akan diisi dengan pesta bersama keluarga besar atau bersama sahabat tercinta. Tapi, kali ini aku ingin membuat pesta natal yang berbeda sesuai versiku. Natal kali ini aku ingin berbagi sedikit kisah dengan kalian. Kisah kecil yang sering terlewat, tanpa ada seorang pun yang menyadari ada sesuatu yang besar dibaliknya: sebuah keajaiban.

Setiap pekat gelap malam hadir, pikiranku diliputi kemarahan. Marah karena gelap itu benar-benar nyata. Marah karena ternyata gelap itu masih sama seperti yang dulu, menghimpitku hingga ujung batas yang mampu kutahan. Marah karena gelap telah mengambil semua rasa bahagia yang kudapatkan hari itu dan menggantinya dengan sebongkah rasa cemas. Begitu cemasnya aku hingga yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya memenangkan malam. Aku juga sangat membenci gelap dan juga segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Sehingga, setiap kali kegelapan tiba-tiba menangkapku di tengah lelap tidurku, aku terbangun dan terdiam menunggu cahaya membawakan lullaby untukku.

Aku tidak diam ketika melawan gelap. Aku berusaha menghadirkan visualisasi pantai favoritku yang bermandikan cahaya mentari. Aku memejamkan mataku selama yang kubisa. Aku memohon agar pagi segera mengambil alih posisi malam. Dan hari ini, ketika aku melihat semua kejadian tersebut secara utuh, aku merasa beruntung. Aku selalu dimenangkan oleh Tuhan dalam perkelahian dengan malam yang mencekik. Setiap pagi aku terbangun dengan perasaan segar dan senang karena aku masih bisa merasakan udara hangat hembusan napasku. Aku menang atas pikiranku sendiri.

Aku tahu kemenangan ini adalah awal dari perjuanganku selanjutnya. Aku mengerti aku lahir untuk menang dalam semua pertarungan hidupku. Bahkan bukan hanya aku, tetapi kita semua. Natal kali ini bukan sekadar perayaan kelahiran Tuhan, tetapi juga menjadi kelahiran sosok baruku. Aku, sang gadis kecil dengan mental seorang pemenang.

#Christmas night
Merry Christmas, everyone! :D
God Bless You ^^
Jumat, 26 Oktober 2012 - , 0 komentar

#thumbstory Sweet Revenge

Mereka menjuluki aku kaktus. Tanaman gurun yang hidup sendiri dalam sunyi. Mereka berpendapat aku aneh, seperti bentuk tanaman kaktus yang tidak biasa. "Hei,kaktus,kenapa sih lukisanmu aneh begitu? Gelap, suram, dan nggak jelas! Haha.." Fido terbahak mengatai lukisanku.

"Karena lukisanku adalah lukisan yang tak biasa," jawabku dalam hati. Aku suka sekali melukis tentang apa saja. Sedangkan mereka suka sekali mengejek lukisanku. "Kaktus, seberapapun seringnya kamu melukis, tetap tidak akan menjadikanmu seorang pelukis hebat seperti Van Gogh. Haha, kamu hanyalah seorang pemimpi hebat." Sebagian diriku merasa terpanggang mendengar ucapan itu. Apakah aku dilahirkan untuk sebuah kesia-siaan? Oh, entahlah. Aku merasa menjadi bak seekor kuda yang dipecut habis-habisan oleh kusir setiap mengingat ucapan itu. Aku melukis lagi, dan lagi. Terus dan terus tiada henti sambil menunggu pengumuman pemenang sayembara melukis se-kota Baliurang yang kuikuti muncul di layar laptopku.

Sejujurnya aku sering dibungkus rasa takut yang teramat tebal. Bagaimana kalau mereka benar dan aku salah? Aku tidak dilahirkan untuk menjadi pelukis hebat. Aku tidak dilahirkan untuk bermimpi. Dan kini aku merasa bisa memenangkan sayembara itu adalah sebuah keajaiban. Aku tahu sebagian besar peserta yang ikut sudah begitu mahir melukis, seperti Laura, teman sekelasku yang sering memenangkan lomba melukis hingga skala internasional. Namun setiap rasa takut itu datang, segera kutepis dengan mengingat kembali ucapan pedas yang membakar diriku untuk terus melukis.

Tiba-tiba tampilan layar laptopku berubah. Pengumuman pemenang sayembara terpampang di sana dan aku... kalah! Seketika tubuhku lemas. Aku gagal! Kuteliti komentar-komentar publik tentang para juara. Lukisan ini bagus, lukisan ini unik, lukisan ini bercerita lebih banyak daripada fiksi. Aku termenung membaca komentar terakhir. Rasa penasaran mendorongku meneliti lebih lanjut untuk lukisan siapa komentar itu diberikan. Tertera sebuah judul lukisan di akhir komentar itu: Kota Terakhir. Oh, itu judul lukisanku! Ternyata aku masuk dalam lima juara favorit! Tidak salah selama ini aku memilih mempertahankan gaya melukisku yang menurut mereka aneh. Dalam hati aku mengucapkan banyak terimakasih kepada orang-orang yang selalu mengejek lukisanku. Mereka membantuku sukses. Aku tidak akan balas dendam kepada mereka dengan berbalik mengejek. Pencapaianku dalam sayembara ini sudah lebih dari cukup untuk membalas perlakuan mereka.***

Catatan: Cerita ini diikutkan dalam ThumbStory Competition yang diadakan majalah Kawanku
*masuk 3 cerpen terbaik ThumbStory Competition
*dipublikasikan pertama kali di http://micrositekawankumagz.com
*diterbitkan di majalah Kawanku no 137, terbit 22 Agustus 2012
Rabu, 24 Oktober 2012 - , 1 komentar

Debu Cinta

Hari ini kita kembali bertemu. Bukan pertemuan dalam satu ruang yang sama, tetapi dua ruang yang berbeda. Namun, aku tetap tersenyum bahagia untuk pertemuan ini. Kubelai guratan halus wajahmu. Membelaimu dalam jarak sedekat ini membuat rindu di hatiku semakin meletup-letup.

Detik ini aku bebas mencumbui ketampanan wajahmu seorang diri. Kamu hanya milikku seorang. Meski mungkin semua orang di dunia tidak merestuiku memilikimu, aku akan tetap kukuh menyiramimu dengan seluruh cinta yang kupunya. Aku hanya ingin setia kepadamu, salahkah?

Ah, rupanya waktu pertemuan kita sudah habis. Ibuku sudah berteriak memanggil. Aku meng-klik menu log out akun fesbukku dan beranjak pergi.
Selasa, 24 Juli 2012 - , 0 komentar

Keajaiban itu Datang Kepadamu!

Ada keajaiban di dalam musik. Begitulah tagline Avalon seri 5: Pelantun Mantra yang terdapat di bagian sinopsis. Keajaiban itu nyata dan aku benar-benar merasakan keajaiban itu ketika aku membaca novel ini. Sekilas novel ini terlihat seperti novel anak-anak. Sebuah cerita tentang dongeng, tentang keajaiban semu, atau bahkan cerita pengantar tidur. Aku harus mengakui bahwa pada awalnya aku juga berpikir seperti itu saat pertama mengenal Avalon. Dan pada akhirnya aku mendapati penilaianku salah. Don’t judge a book by its cover.

Avalon seri ke-5 ini bercerita tentang konser musik amal pertama untuk Ravenswood yang diadakan atas ide Kara Davies—sang Blazing Star. Kara yang terobsesi pada kesuksesan konser ini berusaha mengundang Be*Tween untuk mengisi acara konser tersebut. Namun, keinginan menghadirkan Be*Tween dalam konser hanya berakhir sebagai harapan saat sebuah email datang dan menyatakan Be*Tween tidak bisa hadir mengisi konser tersebut. Mendung di wajah Kara segera sirna saat email lain dari Johnny Conrad—musisi ternama pada saat itu—mengatakan ia bersedia mengisi acara konser secara sukarela. Kara melonjak senang. Siapa sih yang tidak tau Johnny Conrad? Dan coba bayangkan, musisi setenar Johnny bersedia hadir di konser kecil Ravenswood! Ini sebuah keajaiban!

Tidak ada kebahagiaan yang murni diselimuti senyum. Selalu ada kekhawatiran dan kesedihan di dalamnya. Seolah itu memang sudah satu paket komplet. Di tengah keceriaan dan kehebohan persiapan konser sekaligus persiapan kedatangan Johnny, ketiga gadis—Emily sang healer, Adrianne sang warrior, dan Kara sang Blazing Star—mendapatkan peringatan dari Fairimental akan ada bahaya besar yang datang. Fairimental juga meminta mereka untuk memakai peta para fairy dan menyuruh mereka untuk berlantun dalam tiga suara bersama-sama demi menyelamatkan Avalon, sebuah negeri di mana segala sihir berasal. Sebersit kekhawatiran sempat menyelinap, sebelum kekhawatiran itu tertutup oleh kesibukan konser dan ego antara Adrianne dan Kara.

Ketiga gadis tidak tahu ada rahasia besar yang disimpan Johnny. Kara terlalu sibuk dengan dirinya sendiri yang begitu ingin membuktikan bahwa dialah yang Blazing Star. Walau ia tidak memilik batu permata seperti kedua temannya, ia ingin meyakinkan dirinya ia memiliki keistimewaan lebih dari kedua temannya. Adrianne sendiri sibuk berdebat dengan Kara tentang siapa yang akan menjadi pemenang dalam kontes menyanyi dan akan bernyanyi bersama Johnny pada saat konser amal. Dan Emily sibuk meneliti buku Pelantun Mantra yang mereka temukan di perpustakaan rahasia Ravenswood. Masalah terus bertambah deras menghujani ketiga gadis seiring dengan kedekatan Kara yang semakin akrab dengan Johnny. Ada apa sebenarnya dibalik seorang Johnny? Apakah ia seorang dark sorcerer yang telah kembali untuk mencari kunci membuka peta fairy?

“Dan, seperti yang pernah aku bilang kemarin, kamu punya sesuatu yang… istimewa,” ucap Johnny kepada Kara Davies.

Lalu, apa pula maksud ucapan Johnny Conrad pada Kara? Dan sebenarnya buku pelantun mantra itu apa? Temukan sendiri jawabannya dan rasakan keajaiban musik dalam kisah Avalon seri 5! Segera mainkan musikmu dan bersiaplah akan keajaiban! Miracle is real!

“Satu kesempatan bagi kita ‘tuk berdiri bersama Satu harapan yang membuatnya abadi selamanya Kita punya s’mangat yang dibutuhkan Kita pasti ‘kan mencapai impian Karena kutahu kita punya keajaiban”- Avalon buku 5: pelantun mantra.
Selasa, 03 Juli 2012 - 0 komentar

Imajiner

Kehadiran Ai dalam hidupku bak refrain yang selalu ingin kuulangi. Dia menghembuskan harmoni baru pada jejak langkahku. Tapi, aku ragu untuk meyakini bahwa rasaku untuk Ai nyata.

Detik ini aku mendambakan celotehannya. Celotehnya tentang morning light, tentang rupa embun di pagi hari yang begitu menggoda, dan juga tentang betapa menakjubkannya warna-warni pelangi. Ah, mungkin Ai adalah seorang malaikat yang membantuku mengenali isi Bumi. Ya, aku ditakdirkan buta sejak lahir.

Awalnya aku mengira rasa ini cinta. Sampai suatu saat sebuah kesadaran menghantamku. Hingga aku percaya cintaku pada Ai hanya dongeng semusim. Aku mencintai Ai sebatas cerita-ceritanya. Tidak lebih.

*Selamat ulangtahun yang ke-9, GagasMedia! :)
Senin, 02 Juli 2012 - 1 komentar

Fire Circle

Luka itu ada di mana-mana: dibalik bantal tidurku yang bersprei putih, dibalik novel teenlit kesayanganku, di tanganku, di otakku, dibalik selembar foto di samping tempat tidurku, dan yang terparah ada di dadaku. Luka-luka itu basah. Warna permukaannya merah segar. Dan semua itu adalah hasil “karya seni”-mu. Aku kesakitan hingga aku ingin dikubur saja secepatnya di balik tanah. Mungkin kamu masih tidak peduli padaku. Mungkin kamu tak akan pernah menyadari “karya seni” peninggalanmu untukku sampai akhir badan. Sebenarnya terlepas dari semua ini, aku-lah yang bodoh. Aku membiarkanmu menjadikanku museum karya senimu. Bahkan dengan luka-luka yang sedemikian banyak aku masih rela memberikan diriku seutuhnya. Bodoh!

Aku tidak pernah tahu kesalahan apa yang sedang terjadi dalam sistem tubuhku saat aku mendapati diriku (masih saja) mengirimkan sebuah pesan ke akun fesbukmu.

Why do you keep on silent? I miss you so bad. Why didn’t you just reply my message? I’m dying now. But, I don’t know why I still fall in love with you, Chris. I love you so deep. Begitulah pesan singkat yang kukirimkan kepadanya.

Aku tidak ingin melakukan apa pun selain menunggu pesan darimu. Aku mengisi waktu dengan menghitung jumlah kelopak bunga bugenvil putih di halaman rumahku. Dan saat aku sampai pada hitungan ke-95, sebuah notifikasi masuk ke fesbukku.

Oh, I was little bit busy, Rose. Yeah, I love you too. Sorry, I got to go. Bye. :)

Meski isi pesanmu sangat singkat, itu saja sudah cukup membuatku tersenyum lagi. Kamu bilang kamu mencintaiku. Ah, bahagia sekali rasanya! Kamu masih mencintaiku. Hanya tiga kata. Tiga untuk membuatku (lagi-lagi) memberikan segalanya. Tiga untuk memberiku luka baru. Tiga untuk membuatku kembali terjebak. Aku benci! Aku ingin keluar dari permainan ini. Tapi aku mampu. Aku tak memiliki kekuatan super layaknya superman.

Aku terjatuh lagi. Luka-luka itu semakin menyebar dan bertambah merah. Rasanya perih sekali. Seolah seluruh tubuhmu terbakar. Dan kali ini aku pasrah dan ingin menikmatinya saja. Kuresapi dengan penuh rindu luka-luka itu. Kubuat diriku menjadi seorang pecandu luka-luka buatanmu. Pecandu yang tak akan pernah sembuh. Meski segala terapi sudah dicoba untuk mengobati canduku.

*special made for Joshie
Senin, 28 Mei 2012 - , 1 komentar

Book of Tears and Smile

Jemariku terus berlari di atas lembar demi lembar buku tahunan yang baru saja kuterima. Halaman-halaman yang menyimpan semilyar kenangan. Membawa pikiran dan hatiku meluncur mundur dan membuka kembali sepenggal memori tentang semua yang kualami di Kosayu 3 tahun ini. Memori-memori indah yang membuatku menyadari satu hal: waktu begitu cepat merangkak. Tiga tahun yang terasa seperti satu hari.

Berawal dari MOS pada tahun 2009, aku memulai masa SMA-ku dengan banyak tanda tanya ala anak SMP. Aku sering takut, akan seperti apa masa SMA-ku nanti? Bisakah aku bertahan di SMA baruku? Pertanyaan-pertanyaan yang jika diingat kembali terasa konyol. Namun, seiring berjalannya waktu, ketakutan dan pertanyaan itu memudar sendiri, tanpa perlu dijawab. Bahkan sekarang masa MOS bisa kukenang sebagai salah satu saat-saat berkesan yang kualami di SMA. Dibentak-bentak oleh kakak OSIS, mengerjakan tugas MOS hingga larut malam, dan menyanyikan lagu jingle MOS dengan malu-malu hanyalah sebagian kecil dari kenangan MOS-ku. Setelah dipikir ulang, akhirnya aku mengerti apa gunanya segala kegiatan yang diadakan sewaktu MOS: untuk membentukku menjadi anak SMA yang mandiri, tak mudah putus asa, kuat, dan lincah. Selanjutnya bekal inilah yang aku bawa untuk bisa survive di Kosayu.

Aku melangkah lagi ke halaman chain of memories di buku tahunanku. Di halaman itu kutemukan sebuah foto kelas pertamaku: kelas X-E. Sederet hal sedih dan senang aku alami di kelas X-E. Aku pertama kali bertemu dengan seorang sahabat baru di kelas itu, namanya PL. Dan dia masih menjadi sahabatku sampai sekarang. Kami sering berbagi hal-hal kecil, dan kami juga memiliki hobi yang sama: menulis. Selain bertemu dengan PL, aku juga berkenalan dengan CW. Dia pernah mewarnai hidupku dengan warna merah muda lembut. Tapi sayangnya, semua harus berakhir di atas tinta hitam yang mati. Dan itu semua terjadi di luar dugaanku. Meski demikian aku bersyukur pernah bertemu dengan CW. Darinya aku bisa belajar satu hal: kita harus bisa melihat sekeliling kita dengan lebih peka dan mempelajari lingkungan kita dengan baik.

Waktu kelas X, aku memilih masuk ekstrakurikuler menari. Ini adalah kali pertama aku mengenal hip-hop. Juga kali pertama aku merasa begitu tak nyaman dengan kata “dance”. Setiap jam ekstra, aku selalu berpikir kapan aku bisa pulang ke rumah. Kapan aku bisa segera mengakhiri latihanku ini. Bukan karena aku segitu bencinya dengan jenis tarian hip-hop, tapi karena hal lain. Banyak faktor sih, lebih tepatnya. Tapi faktor-faktor itu tidak bisa kutuliskan dalam catatanku ini. Dan yah, pada akhirnya sewaktu naik kelas XI, aku memutuskan tidak lagi ikut ekstra menari, dan memilih Bahasa Mandarin sebagai kegiatan ekstra-ku bersama sahabat-sahabatku.

Suatu hari nanti, kalau ada yang menanyaiku apakah aku pernah menyesal mengikuti ekstrakurikuler dance, aku akan menjawabnya dengan tegas: tidak pernah! Kegagalanku pada ekstra dance membawaku pada sebuah pencarian. Aku memang tidak lagi ikut ekstra dance waktu kelas XI, tapi ketertarikan dan keinginanku untuk kembali menari tak pernah benar-benar hilang. Aku tidak lagi berlatih hip-hop, tapi aku masih berlatih modern dance dan menonton beberapa kompetisi menari sampai seseorang membawaku kembali pada hip-hop waktu kelas XI semester akhir. Untuk berikutnya, kita sebut seseorang itu XY. XY mengenalkanku pada crew-nya dan dari sana aku mengenal seorang temannya, BN. Nah, BN inilah yang membantuku mempelajari basic hip-hop. Meski aku tidak lama belajar basic hip-hop, tapi itu sudah cukup membantuku untuk pengembangan tarianku ke depannya. (cerita lengkap perjalanan dance-ku rencananya akan kutuliskan secara khusus dalam catatan berikutnya)

Lalu, aku beralih ke halaman berikutnya dari chain of memories. Halaman itu membawaku kembali pada sebuah kelas dengan kenangan paling berwarna di SMA: kelas XI IPA 4. Di kelas ini aku mendapatkan banyak kesempatan untuk semakin memperkuat jalinan persahabatanku dengan FT dan DS, sahabatku sejak SD. Selain itu, aku juga berkenalan dengan dua orang sahabat baru, sebut saja YA dan HT. Bersama FT, DS, YA, HT, dan XY aku sering berbagi pengalaman dan lelucon. Terkadang juga kami saling menjahili. Mereka membuatku tidak merasa bosan selama di kelas, bahkan aku cenderung mencintai berada di sekolah demi terus bersama mereka. Betapa menyenangkannya hari-hari itu. Mereka membuatku berharap semoga kelas XI tidak segera berlalu. Karena kami tidak tahu apakah kelas XII nanti kami bisa bersama-sama lagi di satu kelas yang sama seperti saat itu. Aku hampir menangis saat mengenang masa-masa kelas XI-ku. Aku sangat merindukan saat-saat ini. Saat-saat aku sering tertawa bahagia bersama orang-orang yang kusayang.

Dari foto kelas XI, tatapanku beranjak ke sebuah foto kelas XII IPA 2. Tak banyak yang bisa kutuliskan dalam catatanku tentang masa-masa kelas XII-ku, kecuali tentang wali kelasku, sahabatku KC, dan tentang prom night. Tiga hal yang kurasa paling berkesan. Di kelas XII ini pertama kalinya aku bertemu dengan seorang wali kelas yang begitu perhatiannya pada anak-anak kelasnya. Seorang wali kelas yang bisa merangkap sebagai figur ayah bagi kami. Tak ada kata yang cocok untuk menggambarkan wali kelasku ini selain sempurna. Kenangan tentang beliau selalu membuatku speechless sendiri setiap mengingatnya.

Sahabatku, KC, termasuk anak yang lucu. Gaya berceritanya yang selalu penuh semangat ’45 dan dilengkapi dengan berbagai jenis gaya kerap membuatku tersenyum. Semangatnya untuk bisa surevive di Kosayu hampir selalu tinggi. Dia membuatku tidak merasa jenuh berada lama di kelas. Uwaa.. >.< pokoknya gokil abis, deh si KC. Aku senang bisa kenal dan bersahabat dengannya. Karena dia anaknya kreatif dan selalu punya sejuta cara untuk membuatku tersenyum. Aku juga menyukai tulisan dan gambar-gambar rancangan bajunya. Aku berharap semoga KC bisa sukses dengan kuliahnya di Singapura nanti, dan saat bertemu kembali di Indonesia dia bisa menunjukkan padaku rancangannya yang setara dengan para international fashion designer.

Prom night. Sebuah malam singkat tak terlupakan. Malam di mana aku bisa menjejakkan kaki di atas panggung untuk pertama dan terakhir kalinya di SMA. Sebuah malam di mana aku bisa mempersembahkan sesuatu dalam bentuk nyata dan utuh untuk teman-temanku tercinta dan sebagai ucapan terima kasihku untuk XY. Aku ingin menunjukkan padanya bahwa usahanya untuk membantuku mempelajari hip-hop dance selama ini membuahkan sebuah hasil. Penampilanku malam itu juga aku peruntukkan bagi BN, yang telah memberikanku basic hip-hop yang kuat. Tanpanya, aku tidak tahu apakah aku bisa berada di panggung prom seperti malam itu. Selain itu, kesuksesanku lolos seleksi sebagai pengisi acara prom night ini juga aku hadiahkan kepada seorang temanku, DJ. Meski kita tidak bisa berada bersama-sama di atas panggung prom, aku berusaha memberikan segala usaha maksimalku dalam penampilan ini untuknya. Aku berharap dengan begitu rasa kecewanya bisa berkurang. Karena aku berada di atas panggung itu bukan hanya membawa mimpiku seorang, tapi juga mimpi DJ.

Di malam perpisahan itu, aku juga berbagi rasa dan cerita dengan sahabat-sahabatku. Kami banyak tersenyum. Kami menari bersama mengikuti dentuman lagu yang dimainkan seorang disc jockey. Momen ini begitu membahagiakan. Aku selalu merasa hangat setiap mengingatnya. Momen ini juga yang membuatku merasa tak perlu lagi takut dengan perpisahan dengan sahabat-sahabatku ini. Karena aku tahu persahabatan ini akan tetap terjalin akrab seperti sekarang meski nanti kami dipisahkan oleh jarak yang lumayan jauh. Di dunia ini memang ada ex-boyfriend atau ex-girlfriend, tapi ex-best friend tidak akan pernah ada. Aku percaya itu.

Kututup year book-ku. Perjalananku di SMA sudah usai. Semua tentang SMA akan berakhir. Namun kenanganku, kenanganmu, dan kenangan kita tidak akan pernah berakhir. Walau demikian, akirnya aku menangis juga ketika membaca jingle MOS Kosayu 2009 di cover belakang buku tahunanku.

Dulu ‘ku manja, cengeng, dan suka ngompol. Iler pun masih nyantol, mimic di botol.
Ikut MOS di HuaInd, bikin kepala pusing. Tapi itu gak penting, ada kakak OSIS membimbing.


U..u..u.. Dulu kecil, sekarang gede. Sama kakak OSIS-ku yang kece-kece.
Tujuh hari digembleng biar makin pede. Makin oke… oye…


Aku sudah tau, HuaInd itu bagus. Kakak OSISnya cakep maknyus.
Aku harus kuat, harus s’lalu tangguh. Harus bisa jadi tahan banting.
Tapi ternyata, ‘ku masih brondong, butuh kakak menolong.


Aku bukanlah Superman. Aku juga bisa nangis.
Jika para kakak OSIS, pergi meninggalkan aku.


MOS double ‘O nine?!!
MANTAPPP!!!


Aku akan selalu merindukan saat-saat SMA-ku. Detik-detik aku tertawa gembira bersamamu. Hari-hari aku berbagi cerita denganmu. Waktu-waktu aku hanya duduk berdampingan denganmu dalam diam menikmati pemandangan di luar jendela kelas. Menit-menit pertama aku mengenalmu. Jam-jam mendebarkan saat aku dan kamu membaca novel atau menggambar di tengah jam pelajaran. Detik-detik yang begitu mengharukan saat kita saling bertukar surat. Menit-menit yang berlalu saat kita menangis bersama karena perpisahan yang akan segera terjadi. Aku akan selalu merindukanmu. Selalu…. dan tidak akan pernah bosan aku merindukanmu. Aku mencintai kalian semua.

Malang, 26 Mei 2012 pk. 01.30
27 Mei 2012 pk. 14.30

Lots of Love,
@LyneAngela
Rabu, 04 April 2012 - 0 komentar

DreamCatcher: Seorang Sahabat untuk Satu Kebahagiaan

Aku adalah seorang pemimpi. Banyak mimpi baru yang kuciptakan setiap harinya. Di antara mimpi-mimpi tersebut, ada satu mimpi paling besar yang ingin kuraih dalam waktu dekat. Bukan mimpi menjadi seorang ibu presiden, bukan pula mimpi untuk menjadi astronom (aku sangat menyukai permainan bintang di langit malam), atau sederet mimpi tentang profesi lainnya yang ingin digapai teman-temanku di sekolah. Aku memimpikan seorang sahabat yang tulus dan setia. Seseorang yang mau melihatku dan memilihku sebagai sahabatnya karena ‘aku’ yang utuh, bukan karena kelebihanku.

Sering kali aku salah memilih sahabat. Pada detik-detik awal mereka baik padaku, tetapi lambat laun sikap mereka berubah. Mereka tidak lagi membutuhkanku untuk membantu mereka belajar. Atau juga memerlukan cerita-cerita indah yang kusulam di siang-siang yang terasa amat membosankan di kelas untuk sekadar menjaga mereka dari tertidur. Sungguh, sebenarnya aku terlampau lelah menghadapi teman-teman seperti itu. Aku tidak ingin ada sebuah panggung drama dalam kisah persahabatanku. Itu saja. Sesederhana itu. Dan kenyataannya, hal yang aku anggap sederhana tidak sesederhana itu untuk merengkuhnya dalam kehangatan.

Beberapa kali aku merasa sepi dan tersakiti. Mengapa aku belum juga bisa menemukan sahabat yang benar-benar mau menerimaku sebagai kertas putih polos? Terkadang di waktu-waktu khusus, ada sedikit rasa cemburu yang menyelip diam-diam di antara rasa sepiku. Rasa cemburu pada teman-temanku yang tergolong anak populer. Banyak anak yang ingin dekat dengan mereka. Menjadi satu dari sahabat mereka. Karena mereka cantik. High fashionable. Dan selalu tampil dengan gadget model terbaru. Rasa cemburuku beberapa kali memelukku sampai mataku menangkap kabut tipis di luar tawa mereka. Mereka dicintai karena kelebihan yang mereka tonjolkan. Pelan tapi pasti rasa cemburuku pun mulai terurai hingga lenyap sama sekali.

Aku tak pernah berhenti berusaha. Meski mimpiku ini terkadang membawa masalah yang memengaruhi segala aktivitasku, aku tak ingin menyerah sekarang. Seperti kata pepatah, bersakit-sakti dahulu, bersenang-senang kemudian. Aku sudah beberapa kali disakiti dan dikhianati, dan aku percaya aku bisa menemukan seorang sahabat. Akhirnya, setahun yang lalu aku bertemu dengan seorang gadis, sahabat dari sahabatku. Dia gadis periang, memiliki sepasang mata bulat penuh ketulusan, dan tidak termasuk kelompok populer. Gadis itu justru lebih sering terlihat sebagai angin daripada sebagai bintang. Dan semakin lama aku bersamanya, aku semakin melihat beberapa ketidakcocokan sifat dan pemahaman di antara kami. Ah, tenang saja, persahabatan kami masih berjalan baik dengan adanya pengertian dan toleransi yang diberikan untuk satu sama lain. Aku tak menyesal pernah memilihnya menjadi sahabatku sampai sekarang. Dia membagi persoalan hidup yang pernah dialaminya. Mengajakku belajar tentang hidup bersama-sama. Atau sekadar mengingatkanku agar aku tak perlu mengalami masalah yang sama seperti yang pernah dialaminya.

Dia gadis yang baik dan setia. Dengannya aku tidak lagi merasa perlu menutupi kekurangan-
kekuranganku. Begitu juga dengannya. Aku percaya bahwa dialah jawaban dari mimpiku. Seorang sahabat yang tulus dan setia. Seorang sahabat yang biasa-biasa saja dari luar, tetapi memiliki keluarbiasaan tersendiri yang ia simpan di dalam. Dan hanya bisa kau temukan dengan melihatnya dari kacamata yang berbeda.
Jumat, 23 Maret 2012 - , 0 komentar

Serbuk Memori


Siang ini aku kembali menatap awan dari balik jendela kaca mobilku. Di ujung langit yang berwarna biru cerah kutemukan sebentuk awan membentuk hati. Mengajakku berkendara ke masa-masa silam di mana kita masih setia mengenakan setelan putih-merah. Detik itu, aku merindumu dengan segala kebersamaan yang pernah hadir di antara kita. Kebersamaan yang membeku dalam ingatanku. Dan meleleh pada sebuah siang yang begitu terik memanggang kulit.

Aku. Kamu. Dan permainan tradisional. Memori ini meleleh seperti es krim cokelat yang pernah kita habiskan bersama dulu. Aku masih ingat saat kita bermain kejar-kejaran, lampu lalu lintas, hide and seek, pancasila, dan lain sebagaianya. Permainan konvensional yang khas. Terkadang peluh menghiasi wajah dan membuat rambut kita basah sehabis memainkan salah satu dari permainan itu. Tapi kita tak peduli. Kita tetap terlelap dalam gelak tawa dan rasa hangat untuk masing-masing yang semakin memeluk kita. Tubuh kita lengket-lengket dan rasa tidak nyaman timbul karenanya. Tapi toh kita tetap tidak jera memainkan permainan-permainan itu.

Dan sekarang, aku ingin sekali mengajakmu sekali lagi merasakan semua itu. Memainkan permainan-permainan masa kecil kita. Maka pada suatu sore, iseng-iseng aku meneleponmu, mencoba mengajakmu bermain pancasila. Lalu, jawabmu, “Tidak bisa, Fara. Aku sedang asyik bermain game online di laptopku. Lagipula itu permainan kuno dan hanya membuat kita menjadi anak kecil lagi. Lupakan permainan itu, Fara. Game online jauh lebih asyik dan menantang daripada permainan-permainan usang itu. Kamu harus mencobanya Fara, aku yakin kamu akan menyukainya.”

Aku sedikit kecewa dengan jawabanmu. Kamu tahu, aku miris mendengarnya. Aku lebih suka bermain permainan lama kita, yang lebih menghabiskan tenaga, membuat tubuh berkeringat, tetapi membuat keakraban di antara kita berkembang cepat dan juga mengajarkan kita arti sahabat. Aku tidak bisa melihat keakraban nyata di dalam game online yang sama besarnya seperti yang bisa kurasakan saat bermain kejar-kejaran dulu. Dan aku hanya ingin setia. Aku akan tetap lebih memilih permainan-permainan tradisional itu daripada game online yang membuat kita mencandunya seperti orang kesetanan. Aku tidak ingin melupakanmu. Karena itu aku membenci game online yang kuyakini bisa membuatmu menjadi nomor dua setelahnya.
Sabtu, 28 Januari 2012 - 2 komentar

After The Rain


Aku menatap seuntai mutiara air sisa hujan yang menempel di kaca jendela kamarku. Butiran air yang bening. Segar. Harum. Menatapnya saja aku bisa merasakan kejernihan dunia yang ia tawarkan, jernih yang sanggup menghapus semua duka lara yang menggelayut. Dan inilah saat-saat favoritku. Di mana aku bisa duduk diam menatap bulatan kecil yang menggelayut manja pada selapis kaca di depanku dari balik bingkai segi empat cokelat tua. Tanpa rasa dikejar dan mengejar. Langkah sang dewa waktu pun melambat. Gerakannya yang gemulai menyelusup ke dalam celah ruangku yang kecil. Begitu damai rasanya meski dunia ini semakin tua dan jeda waktu semakin sempit.

Aku merindukan hujan. Bukan karena lengkung pelangi yang menggarisi langit dengan warnanya sehabis hujan. Tapi karena hujan selalu meninggalkan jejak embun di jendela kamarku. Lalu embun itu akan menarikku keluar dari batas tipis yang kucipta. Membuat jemariku menari lincah di atasnya. Dan pada akhirnya meninggalkan jejak coretan kata di sana: namamu.

Blogroll

Backstreet Boys - As Long As You Love Me