Rabu, 21 September 2016 - 0 komentar

5,1 inci

“Ada sesosok monster yang sedang bertumbuh di dalam dirimu. Semakin banyak putaran jarum jam, tubuh monster itu semakin besar hingga pada satu titik memakan dagingmu tanpa sisa dan tanpa kau sadari. Pada akhirnya kau akan menjadi seonggok mesin tanpa daya perasa...” ujar kawanku datar.

Aku terkesiap. Setelah sekian waktu tanpa persilangan kabar, kalimat itulah yang menjadi pembukamu untuk pertemuan kali ini.

“Hei, apa maksudmu?!” Darahku bergetar hebat, berebut mencapai puncak kepala.

“Coba saja kau pikirkan sendiri. Tidakkah kau merasa bahwa kau terlalu sering memberi makan monster di dalam dirimu? Kau berikan dia segalanya: waktumu, perhatianmu, fokusmu, pusat gravitasimu. Monster itu tumbuh semakin tambun sementara aku di sini semakin mengering! Pernahkah kamu memikirkan tentang kehadiranku dan orang-orang kecil sepertiku barang sedetik??!”

Aku terdiam. Merenung. Memutar kembali setiap detail kejadian yang telah kulewati selama 3 bulan ini. Dalam waktu-waktu tersebut aku sering kali tertidur di atas tumpukan buku dengan layar laptop yang masih menyala. Tidak jarang juga sebelah tanganku masih menggenggam sebuah bolpoin hitam dalam posisi tubuh yang sama di hari yang bebeda. Ada terlalu banyak misi yang harus kuselesaikan setiap harinya. Jika aku bisa menentukan waktu, akan kuatur terdapat 96 jam dalam sehari. 24 jam sehari tidak lagi cukup untukku.

Pertemuan dengan kawanku ini adalah kali pertama aku kembali menjadi sosok “manusia”. Kesibukanku—yang disebut monster oleh kawanku—baru kusadari telah merenggutku dari putaran revolusi Bumi. Banyak momen yang tidak lagi kutahu apa namanya dan bagaimana terjadinya. Hari-hariku terbatas dalam layar persegi panjang 5,1 inci. Tidak ada lagi ekspresi wajah, namun digantikan oleh sederet simbol-simbol yang membentuk ekspresi. Aku tidak lagi bernapas.

“Maafkan aku... maaff...” Sungai kecil sudah terbentuk di bawah kelopak mataku saat aku membanting tubuhku memeluk kawanku.

“Aku sudah memaafkanmu jauh sebelum kata maaf keluar darimu. Kau tahu, aku terlalu menyayangimu dan aku tak ingin kau ditelan hidup-hidup oleh monster mengerikan itu. Jika kau terus menuruti keinginan si monster, aku takut kau tidak akan lagi bisa mengendalikan pertumbuhannya. Aku yakin kau pun tidak akan sadar ketika pada satu waktu aku tiba-tiba menjelma menjadi segumpal asap dan hilang bersama angin malam. Kau tahu, aku tidak pernah meminta banyak hal darimu. Sedikit saja.. berikan pada orang-orang sepertiku waktumu meski hanya 5 menit. Aku hanya ingin kau tetap menjadi manusia.”

Aku tersenyum. Dalam hati kecilku kuucapkan rasa syukur untuk orang-orang seperti kawanku dengan semilyar kesabaran. ***

Sudut 95 derajat dari kamu, 21 September 2016.
Rabu, 17 Agustus 2016 - 0 komentar

Tentang Kekasih - kekasihku

Kali ini akan aku ceritakan kepadamu sebuah kisah cinta yang jauh dari kata sempurna. Cinta yang tidak biasa. Kusebut demikian karena ini bukan kisah cinta biasa antara seorang lelaki dan seorang perempuan, ini adalah sebuah kisah roman antara aku dan mereka. Orang-orang terkasih yang selalu menantiku di ujung jalan setelah aku menyelesaikan misiku dalam sebuah perjalanan panjang.

Cakrawala tepat mencapai puncak kepala ketika aku baru saja selesai merapikan rak-rak kenanganku. Pada salah satu rak itu kutemukan surat-surat cinta usang dengan tetes cinta abadi dalam setiap goresan yang tertuang di dalamnya. Membacanya kembali, aku menyadari bahwa cinta yang nyata adalah cinta yang sederhana. Tanpa harus mengutarakan kata-kata ajaib pun, seperti “aku menyayangimu”, kita sudah mampu merasakan hangatnya.

Kau tahu, cinta yang terlalu sering mengumbar kata-kata manis adalah cinta yang membawa luka. Layaknya seseorang yang terlalu banyak makan gula dan berakhir hidup dalam bayang-bayang penyakit diabetes (kencing manis).

Hai, kamu yang di sana, ingatkah kamu pada waktu-waktu ketika kita duduk di pojok lapangan sekolah usai mengikuti ujian bulutangkis? Ingatkah kamu pada cerita-cerita yang kamu gulirkan kala itu? Entah kenapa ketika aku membaca lagi surat darimu, kenangan itu adalah yang pertama kali terbayang dalam kepalaku. Memori itu.. aku masih bisa mengulangnya dengan sangat jelas detik ini, setiap cerita yang kamu kisahkan. Apa kabarmu sekarang di sana? Ah, mungkin kamu sudah banyak berubah sekarang, jauh lebih mantap dalam pilihan-pilihanmu. Aku ikut senang setiap melihat postingan foto terbarumu yang sedang tertawa lebar dalam salah satu akun sosial mediamu. Aku bangga pernah punya sahabat sepertimu dan terima kasih karena kamu telah menyebutku sahabat terbaikmu :)

Untuk kamu yang pernah berbagi kamar denganku di rumah retret.. setiap aku membaca surat darimu, aku selalu tersenyum. Di sana kamu bercerita tentang pertemuan pertama kita dan bagaimana pendapat pertamamu tentang aku. Hingga detik ini aku masih sering tidak menyangka bahwa kata-kata yang aku ucapkan padamu kala itu akan memiliki pengaruh besar bagimu, membuatmu semakin semangat dalam menjalani bangku-bangku sekolah dan meredakan kabut-kabut kecemasan sebagai siswi baru di Malang. Kau tahu, jika aku boleh mengulang waktu sekali lagi, aku ingin memperbaiki momen terakhir kita :)

Untuk kamu yang kusebut sebagai “Cinderella”.. kau tahu, pada awalnya aku tidak menyangka bahwa kita akan begitu cocok. Kita memiliki banyak kemiripan dan kamu senantiasa berhasil menutupi kekuranganku. Aku masih ingat ketika dulu kita sering menulis cerita duet ketika pelajaran di kelas sedang berlangsung. Atau ketika kita saling menukar cerita yang kita tulis atau pada waktu lainnya ketika kamu bertanya pendapatku mengenai puisi yang kamu tulis. Sungguh, waktu berlari sangat cepat. Aku ingat beberapa waktu yang lalu kita pernah bercanda dengan sebuah pertanyaan siapa di antara kelompok kita yang akan menikah lebih dulu. Lihatlah, tidak lama lagi nama belakangmu akan bertambah dengan nama belakang si dia :D Masih terekam jelas dalam ingatanku, ketika kali kedua aku ke negara singa dan kamu mengenalkan dia padaku. Sejak pertama kali kita bertiga duduk bersama, aku langsung menyukainya. Dia lelaki yang manis. Dari pertemuan pertama itu aku memiliki firasat dia akan menjadi lelakimu yang terakhir. Aih, tidak sabar rasanya melihatmu memakai gaun yang kamu mimpikan. Sampaikan salam hangatku kepada pangeranmu. Kuharap kita akan tetap menjadi duo yang terus kompak dan partner curhat meski kamu telah menjadi miliknya :)

Untuk kamu yang menganggapku sebagai sahabat pertamamu di bangku sekolah.. sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukannya sedari awal: mengetahui kapan kamu jahil iseng atau kamu yang sedang serius (kamu bilang tidak banyak yang bisa mengetahuinya). Yah, aku hanya bisa merasakannya begitu saja. Tidak ada penjelasan lain. Di suratmu kamu berkata untuk jangan lelah dengan semua kejahilanmu. Tentu saja aku tidak akan lelah. Aku menyayangimu dengan semua keunikanmu. Kuakui aku sering merindukan waktu-waktu di mana kita masih bisa sering duduk bersama di tangga sekolah menceritakan berbagai hal. Kamu yang memahami setiap detail ceritaku tentang dia yang pernah ada. Namun, kesibukan selepas bangku sekolah telah mengambil banyak hal. Aku benci mengakuinya bahwa kesibukan bisa merenggut dan membunuh banyak hal. Hidup tidak sesederhana dan sebebas dulu. Aku hanya terus percaya bahwa akan ada saatnya kita bisa menggantikan waktu-waktu kemarin yang sempat hilang. Kali ini, aku yang akan memintamu untuk jangan pernah lelah denganku :)

Untuk kamu, si “kucing hitam”.. penerimaan bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Butuh waktu yang cukup lama hingga aku bisa benar-benar menerimanya. Kita sama-sama tahu bahwa kala itu semua terasa pahit layaknya kopi hitam yang pekat, namun kini memori itu sudah menjadi kenangan manis. Aku bisa menceritakannya berulang kali dengan senyuman. Pada salah satu suratmu kamu memintaku untuk “keep in touch”. Jika saja kita memiliki akhir cerita yang berbeda, hal itu mungkin saja dilakukan, kupikir kita bisa menjadi sahabat yang kompak sebagaimana kita sudah cukup saling memahami. Siapa yang bisa menebak jika kita sekarang memiliki jalan yang bersimpangan dan bahkan perempatan jalan pun tidak ada untuk kita? Melalui catatan ini, kutitipkan terima kasihku padamu untuk segala usaha terbaikmu dan juga memori manis yang telah kau kemas untukku.

Untuk mereka yang memberiku kartu ucapan.. terimakasih untuk tetes cinta yang senantiasa kalian sematkan pada goresan tinta. Terimakasih untuk cinta kalian yang tulus. Karena kalianlah aku belajar bahwa mencintai itu mudah dan sederhana.

Salam sayang untuk cinta sembilan puluh derajat yang tidak pernah pudar ~
Minggu, 08 Mei 2016 - , 1 komentar

Terasing

Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun kehidupanku, aku merasa asing dengan diriku sendiri. Rasanya baru kemarin aku adalah gadis kecil berkuncir dua yang suka membawa buku dongeng ke mana-mana. Lalu, tiba-tiba saja saat ini aku bertransformasi menjadi gadis yang beranjak remaja dengan sejuta keriuhan yang belum sempat terucap dalam benak.

Senja ini aku kembali duduk di bangku yang sama, di sudut sembilan puluh derajat sebuah taman kota dekat rumahku. Bangku ini telah menjadi sahabatku selama beberapa waktu terakhir dengan sepi sebagai pasanganku. Dengan setia ia menemaniku berbisik rindu kepada sang alam, menuntaskan segala kecamuk tak terjawab.

“Hai, angin, apakah kamu tahu mengapa danau di taman ini tampak begitu kelabu hari ini?”

“Angin, apakah kamu dapat membayangkan suatu dunia tanpa kehadiranku? Ah, mungkin hari-hari yang bergulir akan lebih damai, lebih tenang, dan tidak akan ada lagi mulut-mulut yang saling menganga untuk saling menerkam.”

“Hai, ranting, tidakkah kamu lelah setiap saat bergantung pada batang pohon? Menunggu.. menunggu.. dan menunggu, tanpa pernah tahu apa yang ditunggu dan kapan yang ditunggu akan datang menjemput.”

“Hai, bunga, tidakkah kamu merasa muak dengan semua cerita indah yang dirangkai oleh berjuta-juta tangisan darah? Padahal kau sudah tahu bahwa semua cerita itu pada akhirnya akan mengering dan membusuk. Mengapa.. dan mengapa kamu masih rela meminjamkan sedikit semerbak harummu untuk menutupi bau busuk cerita itu? Bukankah akan semakin mengerikan ketika suatu saat ada seseorang yang membongkar kepingan-kepingan kisah tersebut dan menemukan bau busuk yang teramat sangat di bagian dasarnya? Sungguh, aku tidak paham apa yang kau lakukan saat ini!”

Aku menunduk menatapi tanah dan dedaunan kering di bawah sepatu lusuhku. Bagaimana mungkin daun-daun kering itu tidak pernah merasa marah pada angin yang membuat hidupnya menjadi serba tak pasti?

Ah, sudahlah. Mungkin memang tidak semua pertanyaan berpasangan dengan sebuah jawaban. **

Blogroll

Backstreet Boys - As Long As You Love Me