Rabu, 25 Desember 2013 - , , , 1 komentar

Tentang Perempuan Bercadar Sendu

Kabar kedatanganmu akhirnya tiba bersamaan dengan berhembusnya angin yang mengetuk daun jendela kamarku dan merasuk memenuhi liang telingaku. Gelombang energi positif yang begitu besar bertalu-talu mengetuk jiwaku, membangkitkan serra milyaran kupu-kupu dalam kepalaku yang selama ini membeku dalam sebalok es dingin dan kaku. Lelah dan titik konsentrasi jenuh yang mengintaiku pada hari-hari sebelumnya sirna dihempas kabar gembira darimu. Waktu yang kuhabiskan untuk menanti kembali datangnya kabar ini darimu terbayar sudah. Kamu di sini, di kota yang sama denganku, seperti waktu-waktu kemarin.

Burung-burung di kepalaku terus berkicau tak mau diam. Menampilkan slide pertanyaan dan rencana-rencana yang memintaku untuk segera menjadikannya sebagai bentuk yang nyata. Bagaimanakah kabarmu selama ini? Rindukah kamu pada waktu-waktu kita? Apakah kamu bisa tidur nyenyak di malam-malam dingin? Apakah kamu makan dengan baik selama tinggal di negerimu, nun jauh di sana? Mampukah aku mengembalikan waktu-waktu kita yang hilang? Bisakah kita kembali saling bertukar selengkung garis pelangi di wajah setelah segala yang terlewat? Ah, sungguh terlampau banyak dan terlampau panjang jika kurangkai setiap detil tanda tanya yang melayang di langit-langit pikiranku. Namun, satu hal yang pasti: aku ingin segera menimbang biji rinduku denganmu. Entah dengan sekadar duduk di suatu warung kecil di pinggir jalan ditemani lantunan melodi sendu hujan atau duduk berhadapan di sebuah gerai penjual donat sambil menikmati hangatnya secangkir cokelat panas dengan asap mengepul menunggu langit menghitam. Aku sungguh tak peduli. Segala yang kita lakukan bersama menguntai memori tersenderi untukku. Sesederhana apapun itu.

Ini sudah H-1 malam natal. Sekian lama sudah kamu pulang ke kampung halaman dan kita belum pernah sekali pun duduk di satu ruang yang sama, berbagi tatap. Hujan yang terus membasahi tanah tiada lelah membuatku semakin berkawan karib dengan sendu. Perih, mengingat beberapa hari lagi kamu akan segera pindah dan kita kembali pada hari-hari yang biasa. Semangatku meredup, hampir sama rupanya dengan kelabu langit Malam yang menaungiku. Semua terasa salah dan aku tak lagi bisa bergantung banyak pada harap. Hanya sepintas harap kecil yang rapuh yang masih sanggup kutanggung. Semoga malam natal nanti Tuhan membangunkan harap baru untukku. Menyusunkan aku kolase cinta tulus yang sederhana untuk menjadi sebuah galeri cinta yang tak terbatas dimensi.



Sesulit itukah bagi kita untuk berkumpul dalam satu ruang? Mengapa kita harus diam dan terus menunggu untuk sebuah kepastian yang sebenarnya tidak pernah pasti? Atau... mungkin takutkah kamu pada sepi yang mungkin tinggal membisu di tengah keramaian pikiran kita yang tak pernah mau mengalah? Jiwaku berguguran ketika aku berusaha mengumpulkan keping kekuatan untuk menuliskan semua tanya ini yang seharusnya tak perlu ada. Kau tahu, kita sama, aku juga memiliki prediksi-prediksi kecil milikku. Tetapi, demi mengganti dan mengembalikan segala hal yang pernah hilang, aku bertaruh mengesampingkan kebisingan pikiranku.

Sebagian kecil harapku akhirnya terwujud nyata tepat pada saat malam natal. Cinderella berkata, tidak masalah jika pun itu hanya pertemuan antara kau dan aku. Maka, aku pun pergi ke tempat di mana ia berada. Saling membanjiri kata membentuk untai kisah yang terlewat. Tuhan mendengarkanku. IA tak ingin aku masih saja menjadi perempuan bercadar sendu di malam hari kelahiran-Nya. Cinderella membuatku kembali hidup menjadi sosok gadis berseragam putih abu-abu dengan harapan polosnya. Dia memberiku sebuah hadiah natal yang indah. Cinta yang sederhana yang disusun dengan cara yang tidak sederhana.

Selamat Natal untuk semua yang merayakan! Semoga keajaiban selalu besertamu.
Kamis, 05 September 2013 - 0 komentar

2 meter **special story**

Pelan-pelan tanganku menggenggam kembali cangkir teh motif bunga sakura yang terisi penuh seduhan teh jasmine panas yang mengepul-ngepul. Jalanan di depan rumahku berkecipak oleh tarian titik-titik hujan. Aku menghirup dalam-dalam aroma tanah selagi ditingkahi hujan. Kubayangkan ini adalah hujan terakhir yang menyapa Bumi dan ingin kusimpan memori hujan kali ini serapat yang kubisa. Seperti memoriku tentangmu. Berbagai kilasan bayangan masa lalu yang pernah kita lalui bersama kembali mengapung di ruang kosong pikiranku yang telah lama berdebu akibat kepergianmu. Entah ini sudah hari keberapa setelah kamu pergi, yang jelas aku masih tidak sanggup melepasmu.

Cinta jarak dua meter, begitulah aku menyebut hubungan kita. Kita tak pernah benar-benar duduk bersisian dalam satu ruang yang sama. Aku terlalu malu untuk sekadar bertukar senyum denganmu dan terlalu takut untuk menyapamu. Keberanianku yang tipis hanya sanggup membuat pandangan mataku jatuh pada sosokmu dalam jarak dua meter. Entah mengapa kornea mataku menjadi begitu sensitif dalam merefleksikan setiap milimeter bayangan gestur tubuhmu.

Kita adalah jarak dua meter. Kamu membuka telapak tanganmu di bawah hujan, membiarkan rintiknya menari-nari di atasnya dan sensasi dinginnya memukul-mukul saraf di kulitmu. Kamu tersenyum bahagia menikmati semuanya. Hm... hujan memang selalu menjadi yang kamu tunggu. Terkadang aku iri dengan hujan. Aku tak pernah mengalahkannya dalam memenangkan hatimu. Bahkan tak jarang aku melihatmu sekadar duduk mendengarkan orkestra hujan ditemani secangkir minuman hangat yang kuduga adalah teh. Aku tidak pernah memahami diriku sendiri mengapa aku merasa begitu damai dan senang hanya dengan melihatmu dan segala aktivitas hujanmu dalam jarak dua meter.

Suatu ketika, aku melintasi rumahmu dengan berteman gerimis.

“Suatu hari nanti hujan akan berhenti merindukan Bumi dan tidak akan pernah datang lagi. Ia pergi dan tak kembali,” katamu pelan sambil tersenyum tipis. Sedikit terkejut, aku menghentikan langkahku. Ini kali pertama aku mendengar suaramu. Wajahmu begitu sendu saat aku melirikmu diam-diam. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi? Pertanyaanku akhirnya mendapat jawabnya pada hari berikutnya dan hari-hari setelahnya. Aku tak lagi mendapatimu duduk di tempat yang sama dengan jarak dua meter. Hujan pun ikut enggan menyapaku di hari-hari itu. Jalan di depan rumahku kering. Hambar tanpa aroma hujan. Hatiku pun kering tanpamu.

Hari ini hujan kembali. Seduhan teh jasmine dalam cangkir teh motif bunga sakura yang kugenggam tak lagi terasa hangat. Kali ini aku tak akan lagi menyia-nyiakan kesempatan. Aku mengulurkan cangkir tehku ke bawah hujan. Satu tetes.. Dua tetes.. Tiga tetes.. Empat tetes. Kusesap habis teh jasmine yang telah bercampur tetesan hujan dalam sekali teguk. Dengan cara ini aku akan membuat diriku sedekat mungkin denganmu melalui hujan ini. Aku yakin cerita di antara kita belum usai. Tidak untuk saat ini.

NB: desain ilustrasi oleh Valerianus Andrew :)
Rabu, 27 Februari 2013 - , 0 komentar

~ Fin ~



Secangkir teh jasmine hangat telah tersedia di hadapanku. Kucium aromanya yang menguar di udara dalam-dalam. Aroma ini sangat khas dan identik dengan harum tubuhmu. Aku masih ingat dengan jelas segala hal mengenai dirimu, termasuk semua detail awal pertemuan kita yang mengesankan.

Pagi itu kamu lewat di taman depan rumahku. Karena penasaran dengan siapa dirimu yang sebenarnya, aku pun mengikutimu hingga akhirnya kamu berhenti melangkah di satu titik. Lalu, kamu petik setangkai melati yang sedang tumbuh subur dan kamu selipkan di balik daun telingamu. Pemuda yang unik, batinku.

Aku tersenyum mengingat kali pertama aku tertarik padamu. Pertemuan yang tak biasa. Begitu pula dirimu. Pada hari-hari awal aku mengenalmu, aku tidak bisa mengerti alasanmu selalu melakukan hal itu secara rutin setiap pagi. Berbagai pertanyaan yang menghiasi benakku semakin membuatku penasaran padamu. Di mataku kamu begitu misterius dan tak bisa diduga.

Hari terus bergulir bak sebuah roda yang tak lelah berputar. Aku semakin sering mengamatimu. Kamu yang semakin hari semakin mahir tersenyum merekah. Penampilanmu yang semakin hari semakin rapi dan gagah, dari kaus berubah menjadi setelan formal. Aku sangat bahagia dengan semua perubahanmu, tetapi ada sesuatu yang mengganjal: mengapa kamu belum juga menyadari kehadiranku? Apakah ada sesuatu yang salah pada dirimu? Aku khawatir terjadi sesuatu pada dirimu.

Hari itu tepat lima bulan aku mengagumimu. Aku sudah mulai merasa lelah dengan semua yang kulakukan untukmu. Hingga saat itu tak ada respon positif darimu. Kamu mungkin tak tahu bahwa aku pun memiliki batas waktu menunggu untukmu. Batin dan hatiku sudah teramat lelah. Dan saat itulah semua pertanyaanku pada saat kali pertama melihatmu terjawab.

Aku mengangkat cangkir teh jasmine di depanku dan kuberikan padamu. Ini teh pertama dan terakhirku untukmu. Uh, panas, panas! Aku mengaduh sambil mengibaskan bajuku yang terkena tumpahan teh. Mataku membelalak melihat draft novelku yang kini kotor tertumpah teh jasmine. Di halaman yang terbuka tertulis:

Anton memetik setangkai bunga melati dari taman yang sama seperti yang sudah-sudah. Tetapi, kini bunga melati itu tak lagi diselipkan di balik telinganya. Anton menggenggam tangan seorang gadis dengan mesra dan diletakannya setangkai bunga melati di atas telapak tangan si gadis. Diciumnya puncak kepala si gadis dengan penuh kelembutan. Si gadis pun tersenyum manis dan memeluk Anton.

Rupanya untuk si gadis itulah Anton setiap pagi memetik setangkai bunga melati yang lalu diselipkannya di balik daun telinga. Ia menunggu waktu yang tepat untuk memberikan bunga itu pada si gadis.***
Rabu, 20 Februari 2013 - , 9 komentar

The False Love Promise



Malam ini aku kembali untuk bertemu denganmu. Kamu selalu tahu, aku sangat merindukanmu. Tiada detak sang detik yang kulewatkan tanpa merindukanmu ataupun memikirkanmu. Kehadiranmu begitu melekat bagai hangat napasku.

“Aku tak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan menyelesaikan semua kesulitan yang sedang kamu hadapi saat ini, membuatnya begitu mudah untukmu,” begitu katamu sewaktu kita pertama kali saling menyatakan sebuah rasa.

Aku percaya semua janjimu. Kamu belum pernah dan kuyakin tak akan pernah mengingkari janjimu. Kamu berbeda dengan mereka, laki-laki kebanyakan. Kamu mampu membuatku merasakan cinta yang utuh. Bersamamu, aku merasa sempurna di dunia ini.

Aku menatap ke dalam manik matamu. Warnanya kelabu bening. Kejernihan matamu membawaku berjalan di dalam dimensi lain di mana hanya ada kau dan aku. Tak lagi bisa kudengar jeritan orang-orang di luar sana dan berbagai macam sumpah serapah yang berterbangan di udara karena keputusanku untuk tetap menemuimu. Mereka tidak mengerti bagaimana kita saling mencintai. Mereka tidak memahami dirimu yang sebenarnya. Mereka tidak tahu apa-apa! Demi petir! Larangan mereka tidak akan pernah bisa mematahkan janji cinta abadi yang telah kita ikrarkan. Aku janji.

“Lela, turun dari sana! Cepat! Kamu tidak sadar apa yang kamu lakukan sekarang. Dia benar-benar telah merasukimu! Iblis!” Seorang ibu dengan pakaian daster memaki-maki di bawah pohon jeruk.

Aku maju selangkah.

Aku hanya ingin menepati janjiku, ibu. Janji cintaku untuknya. Kumohon mengertilah, ibu.

Kulihat orang-orang terpekik memandangiku. Mereka tak percaya padamu.

“Sial! Sekarang roh iblis yang merasukimu benar-benar telah mengambilmu. Dasar gila!” Keriuhan masyarakat di bawah pohon jeruk itu pun mendadak sunyi. Ritual pengusiran roh jahat telah gagal. Itu berarti telah bertambah satu lagi penduduk desa itu yang menjadi korban perjanjian cinta dengan iblis.

‘And baby i promise
That i will never leave’
– The Promise-Secret Garden

#FF2in1
Jumat, 15 Februari 2013 - , , , , 3 komentar

Pulau Pasir, Keajaiban Tiada Batas


Sekilas, Pulau Pasir yang terletak di Desa Keciput, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini terlihat tidak begitu istimewa jika dibandingkan dengan pulau-pulau kecil lainnya, seperti Pulau Lengkuas, Pulau Burung, Pulau Batu Burung Garuda, Pulau Kepayang (dahulu pernah disebut sebagai Pulau Aji, Pulau Gede, dan Pulau Babi) , dan sebagainya. Pulau Pasir merupakan pulau kecil dengan daratan yang hanya terdiri dari pasir berwarna sangat putih dan halus dengan luas kurang lebih 60-70 meter persegi tanpa adanya ‘hiasan’ lain, seperti pepohonan, mercusuar, ataupun batu-batuan granit. Kepolosan Pulau Pasir yang terlihat begitu sederhana dan tidak menonjol ini justru menjadikannya lebih unik dibandingkan pulau-pulau lainnya. Apalagi Pulau Pasir dipercaya sebagai pulau ajaib oleh penduduk Belitung. Kepercayaan ini muncul karena Pulau Pasir hanya bisa dilihat apabila air laut sedang surut yang terjadi pada bulan Maret hingga Oktober di mana ombak dan arus laut cenderung tenang. Sedangkan saat air laut pasang, pasir pulau ini tidak dapat terlihat dan pemandangan yang diperoleh hanyalah cipratan ke atas gelombang air laut dari berbagai arah yang bertemu di satu titik. Ajaib dan eksotis, bukan? Tidak salah masyarakat setempat menganggap Pulau Pasir sebagai keajaiban alam Belitung.

Selain keberadaan Pulau Pasir yang sangat bergantung kebaikan cuaca, keunikan lain pulau ini adalah memiliki banyak bintang laut berukuran besar (sebesar telapak tangan manusia dewasa) yang bisa diajak berfoto bersama. Bintang laut berukuran besar ini bisa ditemukan di perairan sekitar Pulau Pasir atau jika kita sedang beruntung, bintang laut ini juga bisa ditemukan di sekitar garis tepi pantai Pulau Pasir. Tetapi, ingat, bintang laut ini boleh dibawa keluar dari habitatnya untuk jangka waktu yang pendek saja karena bintang laut tidak tahan berada terlalu lama di luar air laut. Selain itu, bintang laut ini hanya boleh diambil untuk keperluan dokumentasi dan bukan untuk dijadikan koleksi. Ups!

Nah, bagi kalian pecinta sunset, bisa juga menikmati pemandangan sunset secara lapang dan tak berbatas di pulau ini. Warna langit senja yang memikat ditambah dengan kejernihan permainan ombak serta pasir pantai yang sangat putih membuat sore hari terasa begitu segar. Di samping itu, Pulau Pasir juga menyediakan surga bagi para penangkap sunrise. Kita bisa mengikuti langkah demi langkah yang ditempuh sang surya ketika beranjak naik ke singgasananya dari pulau ini. Untuk yang mau melihat sunrise, sangat disarankan untuk berada di Pulau Pasir sebelum pukul 05.00 WIB.

Sungguh suatu pengalaman fantastis bisa berkunjung ke pulau seribu kejaiban ini! Dijamin kita pun akan lebih mencintai Indonesia dengan segala keajaiban yang belum banyak terekspos dunia luar setelah berkunjung ke Belitung. Happy exploring, all!

CP informasi lengkap wisata Belitung, tour guide, itinerary, booking hotel, dan restoran:
Rhofik Pramuajie (disapa Rere atau Adjie)
082184474949 / 081803158370
Babel.watch@gmail.com
Pin BB: 2694386



Bintang laut dan Pulau Pasir..
*foto dok pribadi RERE GS


Pulau Pasir ketika laut pasang
*foto dok pribadi RERE GS


Narsis di Pulau Pasir :)
*foto dok pribadi RERE GS


Pulau Pasir dari kejauhan dengan pemandangan perahu-perahu kecil yang menyandar
*foto dok pribadi RERE GS
Kamis, 14 Februari 2013 - , 1 komentar

Valentine Terakhir

Aku memandangmu hangat. Ah, kamu masih saja sibuk meremas dan menatapi jemarimu yang kokoh. Punggungmu pun sudah basah oleh keringat, tapi kamu belum juga menuntaskan semua yang mengganjal pikiranmu. Aku tersenyum ramah dari seberang meja, lenantimu dengan segudang kesabaran tiada batas. Ya, untukmu, segala hal terasa tidak memiliki batas, termasuk batas tembus panah asmara.

“A-aku...” katamu terbata.

Aku tersenyum semakin manis kepadamu.

“Maafkan aku, Riana, aku tak sanggup lagi menentang keinginan keluargaku. Besok aku harus pergi bertemu dengannya. Valentine ini akan menjadi akhir kisah kita dan awal yang baru bagi kami.” Kamu menunduk, wajahmu memerah menahan isak tangis.

Aku mengangguk penuh maklum, masih sambil tetap tersenyum. “Aku mengerti, Bi. Pergilah, aku merelakanmu. Kamu layak hidup bahagia tanpa ataupun denganku.”

Air matamu mengalir membasahi pipi mungilmu. Sungguh tak tahan aku melihatmu.

“Bi, sudahlah, jangan lagi menangis. Kita tahu ini sejak lama. Aku ikhlas dari kedalaman hatiku.”

Kamu mengambil tanganku, menggenggam serta meremasnya hangat. Aku bertahan dengan senyumku hingga kamu akhirnya melepaskan tanganku dan berbalik pergi.

Aku telah sendiri. Bayanganmu pun telah pergi seiring langkahmu yang menjauh. Ada perih yang merebak, tapi aku yakin aku mampu mengobatinya begitu aku melihatmu bahagia dengannya. Itu saja sudah cukup untuk hadiah Valentine perpisahan kita.

“Selamat hari Valentine, Biancaku.
Dari Riana yang akan selalu mencintaimu,” tulisku singkat di atas taplak meja putih yang menghiasi meja makan kita sebelum aku beranjak pulang. ***

#FF2in1

Blogroll

Backstreet Boys - As Long As You Love Me