“Ada sesosok monster yang sedang bertumbuh di dalam dirimu. Semakin banyak putaran jarum jam, tubuh monster itu semakin besar hingga pada satu titik memakan dagingmu tanpa sisa dan tanpa kau sadari. Pada akhirnya kau akan menjadi seonggok mesin tanpa daya perasa...” ujar kawanku datar.
Aku terkesiap. Setelah sekian waktu tanpa persilangan kabar, kalimat itulah yang menjadi pembukamu untuk pertemuan kali ini.
“Hei, apa maksudmu?!” Darahku bergetar hebat, berebut mencapai puncak kepala.
“Coba saja kau pikirkan sendiri. Tidakkah kau merasa bahwa kau terlalu sering memberi makan monster di dalam dirimu? Kau berikan dia segalanya: waktumu, perhatianmu, fokusmu, pusat gravitasimu. Monster itu tumbuh semakin tambun sementara aku di sini semakin mengering! Pernahkah kamu memikirkan tentang kehadiranku dan orang-orang kecil sepertiku barang sedetik??!”
Aku terdiam. Merenung. Memutar kembali setiap detail kejadian yang telah kulewati selama 3 bulan ini. Dalam waktu-waktu tersebut aku sering kali tertidur di atas tumpukan buku dengan layar laptop yang masih menyala. Tidak jarang juga sebelah tanganku masih menggenggam sebuah bolpoin hitam dalam posisi tubuh yang sama di hari yang bebeda. Ada terlalu banyak misi yang harus kuselesaikan setiap harinya. Jika aku bisa menentukan waktu, akan kuatur terdapat 96 jam dalam sehari. 24 jam sehari tidak lagi cukup untukku.
Pertemuan dengan kawanku ini adalah kali pertama aku kembali menjadi sosok “manusia”. Kesibukanku—yang disebut monster oleh kawanku—baru kusadari telah merenggutku dari putaran revolusi Bumi. Banyak momen yang tidak lagi kutahu apa namanya dan bagaimana terjadinya. Hari-hariku terbatas dalam layar persegi panjang 5,1 inci. Tidak ada lagi ekspresi wajah, namun digantikan oleh sederet simbol-simbol yang membentuk ekspresi. Aku tidak lagi bernapas.
“Maafkan aku... maaff...” Sungai kecil sudah terbentuk di bawah kelopak mataku saat aku membanting tubuhku memeluk kawanku.
“Aku sudah memaafkanmu jauh sebelum kata maaf keluar darimu. Kau tahu, aku terlalu menyayangimu dan aku tak ingin kau ditelan hidup-hidup oleh monster mengerikan itu. Jika kau terus menuruti keinginan si monster, aku takut kau tidak akan lagi bisa mengendalikan pertumbuhannya. Aku yakin kau pun tidak akan sadar ketika pada satu waktu aku tiba-tiba menjelma menjadi segumpal asap dan hilang bersama angin malam. Kau tahu, aku tidak pernah meminta banyak hal darimu. Sedikit saja.. berikan pada orang-orang sepertiku waktumu meski hanya 5 menit. Aku hanya ingin kau tetap menjadi manusia.”
Aku tersenyum. Dalam hati kecilku kuucapkan rasa syukur untuk orang-orang seperti kawanku dengan semilyar kesabaran. ***
Sudut 95 derajat dari kamu, 21 September 2016.