Rabu, 22 Februari 2017 - , 0 komentar

Jangan Jatuh Cinta!

Pada suatu malam dingin selepas hujan aku kembali menemuimu setelah sekian lama. Kamu menatapku dengan senyum hangat yang sama, masih terasa manis, namun kali ini tanpa getar-getar halus yang menggelitikku. Pertemuan pertama kita setelah 4 bulan bertukar kabar melalui sepetak layar 5.1 inchi tidak diawali dengan kata “halo” atau “apa kabar” seperti kebanyakan pertemuan lain, namun kamu memilih cara yang berbeda: membelai rambutku dengan perlahan seolah dengan begitu seluruh perasaanmu yang tak dapat terkatakan dapat tertumpahkan.

“Aku merindukanmu. Maafkan aku yang begitu sibuk hingga mengambil seluruh ruang bagi kita,” katamu masih dengan tersenyum.

Sepi menjawab pernyataanmu. Aku terdiam, menghitung jumlah kenangan yang sudah terlewati beserta waktu yang masih tersisa.

“Dari mana kamu yakin untuk bilang mencintaiku dan percaya saja ketika aku mengatakan hal yang sama padamu,” kataku lirih memecah suara angin malam yang berdesir*.

Dahimu berkerut mendengar pertanyaan yang seperti pernyataan. “Ah, sayang...” katamu sembari memeluk bahuku.

“Banyak orang bilang jangan jatuh cinta pada seorang penulis. Kamu mungkin akan mati terkapar ditikam berkali-kali oleh tulisan-tulisannya dan namamu akan menjadi terkenal di seluruh penjuru sebagai seorang penjahat. Kamu tahu, para penulis itu adalah pengendali dunia. Kamu tidak takut?”

“Untuk apa takut, jika rasa tidak pernah salah memilih.” Kulihat ada bayanganku di kedua bola matamu.

“Bagaimana kalau aku adalah salah satu dari mereka? Para pengendali dunia itu selalu membutuhkan inspirasi baru yang segar dan mereka tak segan melakukan apapun demi mendapatkannya, termasuk jika harus merajam seseorang dengan pisau yang teramat tajam. Bagaimana jika kata ‘aku mencintaimu’ diucapkan hanya sebagai rutinitas tanpa makna?”

“Sayang... kamu tidak mungkin kan...” kalimatmu mengambang di langit-langit malam dan hilang bersama asap kendaraan.

“Kamu tidak mengerti, sayang. Terkadang kesedihan yang amat mendalam membuat sebuah karya semakin hidup.** Tidak salah jika mayoritas penulis adalah orang-orang yang selalu bercumbu dengan sepi dan bercinta dengan kesedihan. Mereka hampir selalu berpakaian hitam.”

Kubelai pipimu lembut dengan sebelah tanganku. Sedetik kemudian, kutikam cepat jantungmu dengan pisau berkilat menggunakan sebelah tanganku yang lain dan sedari tadi kusembunyikan dibalik jaketku, berulang-ulang. Selesai sudah semua. Air mataku mengalir deras menatap jantungmu yang tak lagi berdetak. Dalam pikiranku sudah kutuliskan sebuah cerita baru yang kuyakini akan melegenda dengan namamu sebagai tokoh utamanya. Detik ini kamu sudah abadi dan tak ada lagi yang bisa mengambilmu dariku.

“Aku mencintaimu... dengan caraku sendiri.”***

* dikutip dari tulisan Veronica Gabriella yang berjudul “Kita Berangkat dari Pertanyaan-pertanyaan Tanpa Tanda Tanya”
** terinspirasi oleh tulisan Veronica Gabriella dengan judul “Tentang Orang-orang yang Dilarang Menolak Perasaan”
Rabu, 21 September 2016 - 0 komentar

5,1 inci

“Ada sesosok monster yang sedang bertumbuh di dalam dirimu. Semakin banyak putaran jarum jam, tubuh monster itu semakin besar hingga pada satu titik memakan dagingmu tanpa sisa dan tanpa kau sadari. Pada akhirnya kau akan menjadi seonggok mesin tanpa daya perasa...” ujar kawanku datar.

Aku terkesiap. Setelah sekian waktu tanpa persilangan kabar, kalimat itulah yang menjadi pembukamu untuk pertemuan kali ini.

“Hei, apa maksudmu?!” Darahku bergetar hebat, berebut mencapai puncak kepala.

“Coba saja kau pikirkan sendiri. Tidakkah kau merasa bahwa kau terlalu sering memberi makan monster di dalam dirimu? Kau berikan dia segalanya: waktumu, perhatianmu, fokusmu, pusat gravitasimu. Monster itu tumbuh semakin tambun sementara aku di sini semakin mengering! Pernahkah kamu memikirkan tentang kehadiranku dan orang-orang kecil sepertiku barang sedetik??!”

Aku terdiam. Merenung. Memutar kembali setiap detail kejadian yang telah kulewati selama 3 bulan ini. Dalam waktu-waktu tersebut aku sering kali tertidur di atas tumpukan buku dengan layar laptop yang masih menyala. Tidak jarang juga sebelah tanganku masih menggenggam sebuah bolpoin hitam dalam posisi tubuh yang sama di hari yang bebeda. Ada terlalu banyak misi yang harus kuselesaikan setiap harinya. Jika aku bisa menentukan waktu, akan kuatur terdapat 96 jam dalam sehari. 24 jam sehari tidak lagi cukup untukku.

Pertemuan dengan kawanku ini adalah kali pertama aku kembali menjadi sosok “manusia”. Kesibukanku—yang disebut monster oleh kawanku—baru kusadari telah merenggutku dari putaran revolusi Bumi. Banyak momen yang tidak lagi kutahu apa namanya dan bagaimana terjadinya. Hari-hariku terbatas dalam layar persegi panjang 5,1 inci. Tidak ada lagi ekspresi wajah, namun digantikan oleh sederet simbol-simbol yang membentuk ekspresi. Aku tidak lagi bernapas.

“Maafkan aku... maaff...” Sungai kecil sudah terbentuk di bawah kelopak mataku saat aku membanting tubuhku memeluk kawanku.

“Aku sudah memaafkanmu jauh sebelum kata maaf keluar darimu. Kau tahu, aku terlalu menyayangimu dan aku tak ingin kau ditelan hidup-hidup oleh monster mengerikan itu. Jika kau terus menuruti keinginan si monster, aku takut kau tidak akan lagi bisa mengendalikan pertumbuhannya. Aku yakin kau pun tidak akan sadar ketika pada satu waktu aku tiba-tiba menjelma menjadi segumpal asap dan hilang bersama angin malam. Kau tahu, aku tidak pernah meminta banyak hal darimu. Sedikit saja.. berikan pada orang-orang sepertiku waktumu meski hanya 5 menit. Aku hanya ingin kau tetap menjadi manusia.”

Aku tersenyum. Dalam hati kecilku kuucapkan rasa syukur untuk orang-orang seperti kawanku dengan semilyar kesabaran. ***

Sudut 95 derajat dari kamu, 21 September 2016.
Rabu, 17 Agustus 2016 - 0 komentar

Tentang Kekasih - kekasihku

Kali ini akan aku ceritakan kepadamu sebuah kisah cinta yang jauh dari kata sempurna. Cinta yang tidak biasa. Kusebut demikian karena ini bukan kisah cinta biasa antara seorang lelaki dan seorang perempuan, ini adalah sebuah kisah roman antara aku dan mereka. Orang-orang terkasih yang selalu menantiku di ujung jalan setelah aku menyelesaikan misiku dalam sebuah perjalanan panjang.

Cakrawala tepat mencapai puncak kepala ketika aku baru saja selesai merapikan rak-rak kenanganku. Pada salah satu rak itu kutemukan surat-surat cinta usang dengan tetes cinta abadi dalam setiap goresan yang tertuang di dalamnya. Membacanya kembali, aku menyadari bahwa cinta yang nyata adalah cinta yang sederhana. Tanpa harus mengutarakan kata-kata ajaib pun, seperti “aku menyayangimu”, kita sudah mampu merasakan hangatnya.

Kau tahu, cinta yang terlalu sering mengumbar kata-kata manis adalah cinta yang membawa luka. Layaknya seseorang yang terlalu banyak makan gula dan berakhir hidup dalam bayang-bayang penyakit diabetes (kencing manis).

Hai, kamu yang di sana, ingatkah kamu pada waktu-waktu ketika kita duduk di pojok lapangan sekolah usai mengikuti ujian bulutangkis? Ingatkah kamu pada cerita-cerita yang kamu gulirkan kala itu? Entah kenapa ketika aku membaca lagi surat darimu, kenangan itu adalah yang pertama kali terbayang dalam kepalaku. Memori itu.. aku masih bisa mengulangnya dengan sangat jelas detik ini, setiap cerita yang kamu kisahkan. Apa kabarmu sekarang di sana? Ah, mungkin kamu sudah banyak berubah sekarang, jauh lebih mantap dalam pilihan-pilihanmu. Aku ikut senang setiap melihat postingan foto terbarumu yang sedang tertawa lebar dalam salah satu akun sosial mediamu. Aku bangga pernah punya sahabat sepertimu dan terima kasih karena kamu telah menyebutku sahabat terbaikmu :)

Untuk kamu yang pernah berbagi kamar denganku di rumah retret.. setiap aku membaca surat darimu, aku selalu tersenyum. Di sana kamu bercerita tentang pertemuan pertama kita dan bagaimana pendapat pertamamu tentang aku. Hingga detik ini aku masih sering tidak menyangka bahwa kata-kata yang aku ucapkan padamu kala itu akan memiliki pengaruh besar bagimu, membuatmu semakin semangat dalam menjalani bangku-bangku sekolah dan meredakan kabut-kabut kecemasan sebagai siswi baru di Malang. Kau tahu, jika aku boleh mengulang waktu sekali lagi, aku ingin memperbaiki momen terakhir kita :)

Untuk kamu yang kusebut sebagai “Cinderella”.. kau tahu, pada awalnya aku tidak menyangka bahwa kita akan begitu cocok. Kita memiliki banyak kemiripan dan kamu senantiasa berhasil menutupi kekuranganku. Aku masih ingat ketika dulu kita sering menulis cerita duet ketika pelajaran di kelas sedang berlangsung. Atau ketika kita saling menukar cerita yang kita tulis atau pada waktu lainnya ketika kamu bertanya pendapatku mengenai puisi yang kamu tulis. Sungguh, waktu berlari sangat cepat. Aku ingat beberapa waktu yang lalu kita pernah bercanda dengan sebuah pertanyaan siapa di antara kelompok kita yang akan menikah lebih dulu. Lihatlah, tidak lama lagi nama belakangmu akan bertambah dengan nama belakang si dia :D Masih terekam jelas dalam ingatanku, ketika kali kedua aku ke negara singa dan kamu mengenalkan dia padaku. Sejak pertama kali kita bertiga duduk bersama, aku langsung menyukainya. Dia lelaki yang manis. Dari pertemuan pertama itu aku memiliki firasat dia akan menjadi lelakimu yang terakhir. Aih, tidak sabar rasanya melihatmu memakai gaun yang kamu mimpikan. Sampaikan salam hangatku kepada pangeranmu. Kuharap kita akan tetap menjadi duo yang terus kompak dan partner curhat meski kamu telah menjadi miliknya :)

Untuk kamu yang menganggapku sebagai sahabat pertamamu di bangku sekolah.. sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukannya sedari awal: mengetahui kapan kamu jahil iseng atau kamu yang sedang serius (kamu bilang tidak banyak yang bisa mengetahuinya). Yah, aku hanya bisa merasakannya begitu saja. Tidak ada penjelasan lain. Di suratmu kamu berkata untuk jangan lelah dengan semua kejahilanmu. Tentu saja aku tidak akan lelah. Aku menyayangimu dengan semua keunikanmu. Kuakui aku sering merindukan waktu-waktu di mana kita masih bisa sering duduk bersama di tangga sekolah menceritakan berbagai hal. Kamu yang memahami setiap detail ceritaku tentang dia yang pernah ada. Namun, kesibukan selepas bangku sekolah telah mengambil banyak hal. Aku benci mengakuinya bahwa kesibukan bisa merenggut dan membunuh banyak hal. Hidup tidak sesederhana dan sebebas dulu. Aku hanya terus percaya bahwa akan ada saatnya kita bisa menggantikan waktu-waktu kemarin yang sempat hilang. Kali ini, aku yang akan memintamu untuk jangan pernah lelah denganku :)

Untuk kamu, si “kucing hitam”.. penerimaan bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Butuh waktu yang cukup lama hingga aku bisa benar-benar menerimanya. Kita sama-sama tahu bahwa kala itu semua terasa pahit layaknya kopi hitam yang pekat, namun kini memori itu sudah menjadi kenangan manis. Aku bisa menceritakannya berulang kali dengan senyuman. Pada salah satu suratmu kamu memintaku untuk “keep in touch”. Jika saja kita memiliki akhir cerita yang berbeda, hal itu mungkin saja dilakukan, kupikir kita bisa menjadi sahabat yang kompak sebagaimana kita sudah cukup saling memahami. Siapa yang bisa menebak jika kita sekarang memiliki jalan yang bersimpangan dan bahkan perempatan jalan pun tidak ada untuk kita? Melalui catatan ini, kutitipkan terima kasihku padamu untuk segala usaha terbaikmu dan juga memori manis yang telah kau kemas untukku.

Untuk mereka yang memberiku kartu ucapan.. terimakasih untuk tetes cinta yang senantiasa kalian sematkan pada goresan tinta. Terimakasih untuk cinta kalian yang tulus. Karena kalianlah aku belajar bahwa mencintai itu mudah dan sederhana.

Salam sayang untuk cinta sembilan puluh derajat yang tidak pernah pudar ~
Minggu, 08 Mei 2016 - , 1 komentar

Terasing

Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun kehidupanku, aku merasa asing dengan diriku sendiri. Rasanya baru kemarin aku adalah gadis kecil berkuncir dua yang suka membawa buku dongeng ke mana-mana. Lalu, tiba-tiba saja saat ini aku bertransformasi menjadi gadis yang beranjak remaja dengan sejuta keriuhan yang belum sempat terucap dalam benak.

Senja ini aku kembali duduk di bangku yang sama, di sudut sembilan puluh derajat sebuah taman kota dekat rumahku. Bangku ini telah menjadi sahabatku selama beberapa waktu terakhir dengan sepi sebagai pasanganku. Dengan setia ia menemaniku berbisik rindu kepada sang alam, menuntaskan segala kecamuk tak terjawab.

“Hai, angin, apakah kamu tahu mengapa danau di taman ini tampak begitu kelabu hari ini?”

“Angin, apakah kamu dapat membayangkan suatu dunia tanpa kehadiranku? Ah, mungkin hari-hari yang bergulir akan lebih damai, lebih tenang, dan tidak akan ada lagi mulut-mulut yang saling menganga untuk saling menerkam.”

“Hai, ranting, tidakkah kamu lelah setiap saat bergantung pada batang pohon? Menunggu.. menunggu.. dan menunggu, tanpa pernah tahu apa yang ditunggu dan kapan yang ditunggu akan datang menjemput.”

“Hai, bunga, tidakkah kamu merasa muak dengan semua cerita indah yang dirangkai oleh berjuta-juta tangisan darah? Padahal kau sudah tahu bahwa semua cerita itu pada akhirnya akan mengering dan membusuk. Mengapa.. dan mengapa kamu masih rela meminjamkan sedikit semerbak harummu untuk menutupi bau busuk cerita itu? Bukankah akan semakin mengerikan ketika suatu saat ada seseorang yang membongkar kepingan-kepingan kisah tersebut dan menemukan bau busuk yang teramat sangat di bagian dasarnya? Sungguh, aku tidak paham apa yang kau lakukan saat ini!”

Aku menunduk menatapi tanah dan dedaunan kering di bawah sepatu lusuhku. Bagaimana mungkin daun-daun kering itu tidak pernah merasa marah pada angin yang membuat hidupnya menjadi serba tak pasti?

Ah, sudahlah. Mungkin memang tidak semua pertanyaan berpasangan dengan sebuah jawaban. **
Rabu, 25 Desember 2013 - , , , 1 komentar

Tentang Perempuan Bercadar Sendu

Kabar kedatanganmu akhirnya tiba bersamaan dengan berhembusnya angin yang mengetuk daun jendela kamarku dan merasuk memenuhi liang telingaku. Gelombang energi positif yang begitu besar bertalu-talu mengetuk jiwaku, membangkitkan serra milyaran kupu-kupu dalam kepalaku yang selama ini membeku dalam sebalok es dingin dan kaku. Lelah dan titik konsentrasi jenuh yang mengintaiku pada hari-hari sebelumnya sirna dihempas kabar gembira darimu. Waktu yang kuhabiskan untuk menanti kembali datangnya kabar ini darimu terbayar sudah. Kamu di sini, di kota yang sama denganku, seperti waktu-waktu kemarin.

Burung-burung di kepalaku terus berkicau tak mau diam. Menampilkan slide pertanyaan dan rencana-rencana yang memintaku untuk segera menjadikannya sebagai bentuk yang nyata. Bagaimanakah kabarmu selama ini? Rindukah kamu pada waktu-waktu kita? Apakah kamu bisa tidur nyenyak di malam-malam dingin? Apakah kamu makan dengan baik selama tinggal di negerimu, nun jauh di sana? Mampukah aku mengembalikan waktu-waktu kita yang hilang? Bisakah kita kembali saling bertukar selengkung garis pelangi di wajah setelah segala yang terlewat? Ah, sungguh terlampau banyak dan terlampau panjang jika kurangkai setiap detil tanda tanya yang melayang di langit-langit pikiranku. Namun, satu hal yang pasti: aku ingin segera menimbang biji rinduku denganmu. Entah dengan sekadar duduk di suatu warung kecil di pinggir jalan ditemani lantunan melodi sendu hujan atau duduk berhadapan di sebuah gerai penjual donat sambil menikmati hangatnya secangkir cokelat panas dengan asap mengepul menunggu langit menghitam. Aku sungguh tak peduli. Segala yang kita lakukan bersama menguntai memori tersenderi untukku. Sesederhana apapun itu.

Ini sudah H-1 malam natal. Sekian lama sudah kamu pulang ke kampung halaman dan kita belum pernah sekali pun duduk di satu ruang yang sama, berbagi tatap. Hujan yang terus membasahi tanah tiada lelah membuatku semakin berkawan karib dengan sendu. Perih, mengingat beberapa hari lagi kamu akan segera pindah dan kita kembali pada hari-hari yang biasa. Semangatku meredup, hampir sama rupanya dengan kelabu langit Malam yang menaungiku. Semua terasa salah dan aku tak lagi bisa bergantung banyak pada harap. Hanya sepintas harap kecil yang rapuh yang masih sanggup kutanggung. Semoga malam natal nanti Tuhan membangunkan harap baru untukku. Menyusunkan aku kolase cinta tulus yang sederhana untuk menjadi sebuah galeri cinta yang tak terbatas dimensi.



Sesulit itukah bagi kita untuk berkumpul dalam satu ruang? Mengapa kita harus diam dan terus menunggu untuk sebuah kepastian yang sebenarnya tidak pernah pasti? Atau... mungkin takutkah kamu pada sepi yang mungkin tinggal membisu di tengah keramaian pikiran kita yang tak pernah mau mengalah? Jiwaku berguguran ketika aku berusaha mengumpulkan keping kekuatan untuk menuliskan semua tanya ini yang seharusnya tak perlu ada. Kau tahu, kita sama, aku juga memiliki prediksi-prediksi kecil milikku. Tetapi, demi mengganti dan mengembalikan segala hal yang pernah hilang, aku bertaruh mengesampingkan kebisingan pikiranku.

Sebagian kecil harapku akhirnya terwujud nyata tepat pada saat malam natal. Cinderella berkata, tidak masalah jika pun itu hanya pertemuan antara kau dan aku. Maka, aku pun pergi ke tempat di mana ia berada. Saling membanjiri kata membentuk untai kisah yang terlewat. Tuhan mendengarkanku. IA tak ingin aku masih saja menjadi perempuan bercadar sendu di malam hari kelahiran-Nya. Cinderella membuatku kembali hidup menjadi sosok gadis berseragam putih abu-abu dengan harapan polosnya. Dia memberiku sebuah hadiah natal yang indah. Cinta yang sederhana yang disusun dengan cara yang tidak sederhana.

Selamat Natal untuk semua yang merayakan! Semoga keajaiban selalu besertamu.
Kamis, 05 September 2013 - 0 komentar

2 meter **special story**

Pelan-pelan tanganku menggenggam kembali cangkir teh motif bunga sakura yang terisi penuh seduhan teh jasmine panas yang mengepul-ngepul. Jalanan di depan rumahku berkecipak oleh tarian titik-titik hujan. Aku menghirup dalam-dalam aroma tanah selagi ditingkahi hujan. Kubayangkan ini adalah hujan terakhir yang menyapa Bumi dan ingin kusimpan memori hujan kali ini serapat yang kubisa. Seperti memoriku tentangmu. Berbagai kilasan bayangan masa lalu yang pernah kita lalui bersama kembali mengapung di ruang kosong pikiranku yang telah lama berdebu akibat kepergianmu. Entah ini sudah hari keberapa setelah kamu pergi, yang jelas aku masih tidak sanggup melepasmu.

Cinta jarak dua meter, begitulah aku menyebut hubungan kita. Kita tak pernah benar-benar duduk bersisian dalam satu ruang yang sama. Aku terlalu malu untuk sekadar bertukar senyum denganmu dan terlalu takut untuk menyapamu. Keberanianku yang tipis hanya sanggup membuat pandangan mataku jatuh pada sosokmu dalam jarak dua meter. Entah mengapa kornea mataku menjadi begitu sensitif dalam merefleksikan setiap milimeter bayangan gestur tubuhmu.

Kita adalah jarak dua meter. Kamu membuka telapak tanganmu di bawah hujan, membiarkan rintiknya menari-nari di atasnya dan sensasi dinginnya memukul-mukul saraf di kulitmu. Kamu tersenyum bahagia menikmati semuanya. Hm... hujan memang selalu menjadi yang kamu tunggu. Terkadang aku iri dengan hujan. Aku tak pernah mengalahkannya dalam memenangkan hatimu. Bahkan tak jarang aku melihatmu sekadar duduk mendengarkan orkestra hujan ditemani secangkir minuman hangat yang kuduga adalah teh. Aku tidak pernah memahami diriku sendiri mengapa aku merasa begitu damai dan senang hanya dengan melihatmu dan segala aktivitas hujanmu dalam jarak dua meter.

Suatu ketika, aku melintasi rumahmu dengan berteman gerimis.

“Suatu hari nanti hujan akan berhenti merindukan Bumi dan tidak akan pernah datang lagi. Ia pergi dan tak kembali,” katamu pelan sambil tersenyum tipis. Sedikit terkejut, aku menghentikan langkahku. Ini kali pertama aku mendengar suaramu. Wajahmu begitu sendu saat aku melirikmu diam-diam. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi? Pertanyaanku akhirnya mendapat jawabnya pada hari berikutnya dan hari-hari setelahnya. Aku tak lagi mendapatimu duduk di tempat yang sama dengan jarak dua meter. Hujan pun ikut enggan menyapaku di hari-hari itu. Jalan di depan rumahku kering. Hambar tanpa aroma hujan. Hatiku pun kering tanpamu.

Hari ini hujan kembali. Seduhan teh jasmine dalam cangkir teh motif bunga sakura yang kugenggam tak lagi terasa hangat. Kali ini aku tak akan lagi menyia-nyiakan kesempatan. Aku mengulurkan cangkir tehku ke bawah hujan. Satu tetes.. Dua tetes.. Tiga tetes.. Empat tetes. Kusesap habis teh jasmine yang telah bercampur tetesan hujan dalam sekali teguk. Dengan cara ini aku akan membuat diriku sedekat mungkin denganmu melalui hujan ini. Aku yakin cerita di antara kita belum usai. Tidak untuk saat ini.

NB: desain ilustrasi oleh Valerianus Andrew :)
Rabu, 27 Februari 2013 - , 0 komentar

~ Fin ~



Secangkir teh jasmine hangat telah tersedia di hadapanku. Kucium aromanya yang menguar di udara dalam-dalam. Aroma ini sangat khas dan identik dengan harum tubuhmu. Aku masih ingat dengan jelas segala hal mengenai dirimu, termasuk semua detail awal pertemuan kita yang mengesankan.

Pagi itu kamu lewat di taman depan rumahku. Karena penasaran dengan siapa dirimu yang sebenarnya, aku pun mengikutimu hingga akhirnya kamu berhenti melangkah di satu titik. Lalu, kamu petik setangkai melati yang sedang tumbuh subur dan kamu selipkan di balik daun telingamu. Pemuda yang unik, batinku.

Aku tersenyum mengingat kali pertama aku tertarik padamu. Pertemuan yang tak biasa. Begitu pula dirimu. Pada hari-hari awal aku mengenalmu, aku tidak bisa mengerti alasanmu selalu melakukan hal itu secara rutin setiap pagi. Berbagai pertanyaan yang menghiasi benakku semakin membuatku penasaran padamu. Di mataku kamu begitu misterius dan tak bisa diduga.

Hari terus bergulir bak sebuah roda yang tak lelah berputar. Aku semakin sering mengamatimu. Kamu yang semakin hari semakin mahir tersenyum merekah. Penampilanmu yang semakin hari semakin rapi dan gagah, dari kaus berubah menjadi setelan formal. Aku sangat bahagia dengan semua perubahanmu, tetapi ada sesuatu yang mengganjal: mengapa kamu belum juga menyadari kehadiranku? Apakah ada sesuatu yang salah pada dirimu? Aku khawatir terjadi sesuatu pada dirimu.

Hari itu tepat lima bulan aku mengagumimu. Aku sudah mulai merasa lelah dengan semua yang kulakukan untukmu. Hingga saat itu tak ada respon positif darimu. Kamu mungkin tak tahu bahwa aku pun memiliki batas waktu menunggu untukmu. Batin dan hatiku sudah teramat lelah. Dan saat itulah semua pertanyaanku pada saat kali pertama melihatmu terjawab.

Aku mengangkat cangkir teh jasmine di depanku dan kuberikan padamu. Ini teh pertama dan terakhirku untukmu. Uh, panas, panas! Aku mengaduh sambil mengibaskan bajuku yang terkena tumpahan teh. Mataku membelalak melihat draft novelku yang kini kotor tertumpah teh jasmine. Di halaman yang terbuka tertulis:

Anton memetik setangkai bunga melati dari taman yang sama seperti yang sudah-sudah. Tetapi, kini bunga melati itu tak lagi diselipkan di balik telinganya. Anton menggenggam tangan seorang gadis dengan mesra dan diletakannya setangkai bunga melati di atas telapak tangan si gadis. Diciumnya puncak kepala si gadis dengan penuh kelembutan. Si gadis pun tersenyum manis dan memeluk Anton.

Rupanya untuk si gadis itulah Anton setiap pagi memetik setangkai bunga melati yang lalu diselipkannya di balik daun telinga. Ia menunggu waktu yang tepat untuk memberikan bunga itu pada si gadis.***

Blogroll

Backstreet Boys - As Long As You Love Me